Adat Istiadat Kebudayaan Aceh ( Artikel Lengkap )
Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nangro Darussalam
ini terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo,
Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap
etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah
keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah:
Baca Juga:
Asal Usul dan Kebudayaan Suku Alas dari Aceh
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya
masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan.
Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh
masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari
pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian
perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan
dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara
meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki
pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana,
hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara
pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah
(kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di
samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian
jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli
membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang
diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap
sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila
saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah
tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan
persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu.
Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya.
Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara
baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada
dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh
seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang
wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah
pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak
keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran
(tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung
tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto
baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan
melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah
uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului
oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro
minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa
pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di
rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang
linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur
tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk
mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara
cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi
digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi
pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus.
Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang
oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut
dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan
kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah
seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi
beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah
seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang
atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan
akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa
pulang kembali ke rumah.
Baca Juga:
Asal Usul Suku Mandar di Sulawesi
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup
menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan
masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang
biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa
seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa
ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai
kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya),
mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa
dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat
Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita
melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati
makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau
pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi
dengan kari kambing, dan sebagainya.
Search Populer:
- contoh adat istiadat aceh
- adat dan budaya aceh
- budaya khas aceh
- adat aceh pernikahan
- nama upacara adat aceh
- kebiasaan unik orang aceh
- upacara adat aceh dan penjelasannya
- hukum adat aceh
0 Response to "Adat Istiadat Kebudayaan Aceh ( Artikel Lengkap )"