Asal Usul dan Kebudayaan Suku Batak ( Artikel Lengkap )
Asal Usul dan Peradaban Suku Batak. Suku Batak
merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku
bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di
Sumatera Utara. Agama yang dianut suku ini adalah agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik dan Islam Sunni. Adapula yang menganut
kepercayaan tradisional seperti tradisi Malim dan juga menganut
kepercayaan animisme (Sipelebegu atau Parbegu) walaupun penganutnya
sudah berkurang.
Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah
mengklasifikasikan Simalungun, Karo, Toba, Mandailing, Pakpak dan
Angkola sebagai etnis Batak.
Suku batak memiliki beberapa sub-sub suku lain yang dikategorikan sebagai:
1. Batak Toba
2. Batak Karo
3. Batak Pakpak
4. Batak Simalungun
5. Batak Angkola
6. Batak Mandailing.
2. Batak Karo
3. Batak Pakpak
4. Batak Simalungun
5. Batak Angkola
6. Batak Mandailing.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India
mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka
berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman.
Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu
komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang
oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil
dari pesisir Sumatera[3]. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur
Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan
koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka
terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Sejarah
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia dimana bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia berasal dari Taiwan yang telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu pada zaman batu muda (Neolitikum).
Belum diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali berada di Tapanuli dan Sumatera Timur. Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia dimana bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia berasal dari Taiwan yang telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu pada zaman batu muda (Neolitikum).
Belum diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali berada di Tapanuli dan Sumatera Timur. Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Baca Juga:
Talempong Alat Musik Tradisional Asal Minangkabau Sumatra Barat
Identitas Batak
Ada tiga pendapat yang mengungkapkan mengenai identitas suku batak yaitu;
Ada tiga pendapat yang mengungkapkan mengenai identitas suku batak yaitu;
1. R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum abad ke-20 di Sumatra bagian
utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren.
Menurutnya sampai abad ke-19, interaksi sosial di daerah itu hanya
terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau
antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi bagian dari
satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar.
2. Munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak baru
terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan
bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak
asing.
3. Siti Omas Manurung, istri dari putra pendeta Batak Toba
menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik Karo
maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang
telah membuat terpisahnya kelompok-kelompok tersebut.
Sebuah mitos yang memiliki berbagai macam versi tentang asal usul
suku batak menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat
Danau Toba, adalah tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu
mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak
berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh orang Batak adalah bahasa Batak dan sebagian juga ada yang menggunakan bahasa Melayu. Setiap puak memiliki logat yang berbeda-beda. Orang Karo menggunakan Logat Karo, sementara logat Pakpak dipakai oleh Batak Pakpak, logat Simalungun dipakai oleh Batak Simalungun, dan logat Toba dipakai oleh orang Batak Toba, Angkola dan Mandailing.
Bahasa yang digunakan oleh orang Batak adalah bahasa Batak dan sebagian juga ada yang menggunakan bahasa Melayu. Setiap puak memiliki logat yang berbeda-beda. Orang Karo menggunakan Logat Karo, sementara logat Pakpak dipakai oleh Batak Pakpak, logat Simalungun dipakai oleh Batak Simalungun, dan logat Toba dipakai oleh orang Batak Toba, Angkola dan Mandailing.
Kesenian
Tari Tor-tor merupakan kesenian yang dimiliki suku Batak. Tarian ini bersifat magis. Ada lagi Tari serampang dua belas yang hanya bersifat hiburan. Sementara alat musik tradisionalnya adalah Gong dan Saga-saga. Adapun warisan kebudayaan berbentuk kain adalah kain ulos. Kain hasil kerajinan tenun suku batak ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor.
Tari Tor-tor merupakan kesenian yang dimiliki suku Batak. Tarian ini bersifat magis. Ada lagi Tari serampang dua belas yang hanya bersifat hiburan. Sementara alat musik tradisionalnya adalah Gong dan Saga-saga. Adapun warisan kebudayaan berbentuk kain adalah kain ulos. Kain hasil kerajinan tenun suku batak ini selalu ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan upacara menari Tor-tor.
Penyebaran agama
Masuknya Islam
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.
Masuknya Islam
Ibn Battuta, mengunjungi Sumatera Utara pada tahun 1345 dan mengislamkan Sultan Al-Malik Al-Dhahir, masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan kawin-mawin dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak.
Pada masa Perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau
menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas
masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas wilayah
Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya
mereka menganut agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kerajaan
Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo
dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari
masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Masuknya Kristen
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku, dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Selanjutnya Misi Katolik di Tanah Batak terhitung sejak Pastor Misionaris pertama yakni Pastor Sybrandus van Rossum, OFM.Cap masuk ke jantung Tanah Batak, yakni Balige tanggal 5 Desember 1934.
Masyarakat Toba dan sebagian Karo menyerap agama Kristen dengan
cepat, dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai
identitas budaya.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak Toba mengenal agama, mereka menganut sistem kepercayaan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Sebelum suku Batak Toba mengenal agama, mereka menganut sistem kepercayaan religi tentang Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh
karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak
seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang,
maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara
mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua
orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala
sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau
hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Baca Juga:
Adat Istiadat Suku Sunda: Kebudayaan, Sejarah, Bahasa
Salam Khas Batak
Salam Horas merupakan salam Suku Batak yang terkenal, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
Salam Horas merupakan salam Suku Batak yang terkenal, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”
Kekerabatan
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat
dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa
Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis
terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena
perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah
ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap,
kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa
Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan
dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi
antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang
berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan
suatu filosofi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan
tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat,
yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya
tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Dalam persoalan perkawinan, dalam tradisi suku Batak seseorang hanya
bisa menikah dengan orang Batak yang berbeda klan. Maka dari itu, jika
ada yang menikah harus mencari pasangan hidup dari marga lain. Apabila
yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak, maka dia harus
diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan). Acara tersebut
dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan di gereja bila
agama yang dianutnya adalah Kristen.
Falsafah dan sistem kemasyarakatan
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut kelima puak Batak
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu menurut kelima puak Batak
1. Dalihan Na Tolu (Toba) • Somba Marhula-hula • Manat Mardongan Tubu • Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola) • Hormat Marmora • Manat Markahanggi • Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) • Martondong Ningon Hormat, Sombah •
Marsanina Ningon Pakkei, Manat • Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) • Nembah Man Kalimbubu • Mehamat Man Sembuyak • Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) • Sembah Merkula-kula • Manat Merdengan Tubuh • Elek Marberru
Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini
menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat
Batak (semua sub-suku Batak.
Dongan Tubu/Hahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara
laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama.
Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu
marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai
'parhobas' atau pelayan, baik dalam pergaulan sehari-hari maupun
(terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun berfungsi sebagai
pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan
pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.
Dari silsilah diatas, bukan berarti ada kasta dalam sistem
kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat
kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah
menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi
setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku
'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang
berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama
dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat
selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.
Ritual kanibalisme
Dibawah ini adalah beberapa dokumentasi mengenai praktik ritual kanibalisme pada kalangan suku Batak terdahulu.
Dibawah ini adalah beberapa dokumentasi mengenai praktik ritual kanibalisme pada kalangan suku Batak terdahulu.
1. Dalam memoir Marco Polo yang sempat datang berekspedisi dipesisir
timur Sumatera dari bulan April sampai September 1292, ia menyebutkan
bahwa ia berjumpa dengan orang yang menceritakan akan adanya masyarakyat
pedalaman yang disebut sebagai "pemakan manusia". Dari sumber-sumber
sekunder, Marco Polo mencatat cerita tentang ritual kanibalisme di
antara masyarakat "Battas". Walau Marco Polo hanya tinggal di wilayah
pesisir, dan tidak pernah pergi langsung ke pedalaman untuk
memverifikasi cerita tersebut, namun dia bisa menceritakan ritual
tersebut.
2. Niccolò Da Conti (1395-1469), seorang Venesia yang menghabiskan
sebagian besar tahun 1421 di Sumatra, dalam perjalanan panjangnya untuk
misi perdagangan di Asia Tenggara (1414-1439), mencatat kehidupan
masyarakat. Dia menulis sebuah deskripsi singkat tentang penduduk Batak:
"Dalam bagian pulau, disebut Batech kanibal hidup berperang
terus-menerus kepada tetangga mereka ".
3. Thomas Stamford Raffles pada 1820 mempelajari Batak dan ritual
mereka, serta undang-undang mengenai konsumsi daging manusia, menulis
secara detail tentang pelanggaran yang dibenarkan. Raffles menyatakan
bahwa: "Suatu hal yang biasa dimana orang-orang memakan orang tua mereka
ketika terlalu tua untuk bekerja, dan untuk kejahatan tertentu penjahat
akan dimakan hidup-hidup".. "daging dimakan mentah atau dipanggang,
dengan kapur, garam dan sedikit nasi".
4. Para dokter Jerman dan ahli geografi Franz Wilhelm Junghuhn,
mengunjungi tanah Batak pada tahun 1840-1841. Junghuhn mengatakan
tentang ritual kanibalisme di antara orang Batak (yang ia sebut
"Battaer"). Junghuhn menceritakan bagaimana setelah penerbangan
berbahaya dan lapar, ia tiba di sebuah desa yang ramah. Makanan yang
ditawarkan oleh tuan rumahnya adalah daging dari dua tahanan yang telah
disembelih sehari sebelumnya. Namun hal ini terkadang dibesar-besarkan
dengan maksud menakut-nakuti orang/pihak yang bermaksud menjajah
dan/atau sesekali agar mendapatkan pekerjaan yang dibayar baik sebagai
tukang pundak bagi pedagang maupun sebagai tentara bayaran bagi
suku-suku pesisir yang diganggu oleh bajak laut.
5. Oscar von Kessel mengunjungi Silindung pada tahun
1840-an, dan pada tahun 1844 mungkin orang Eropa pertama yang mengamati
ritual kanibalisme Batak di mana suatu pezina dihukum dan dimakan hidup.
Menariknya, terdapat deskripsi paralel dari Marsden untuk beberapa hal
penting, von Kessel menyatakan bahwa kanibalisme dianggap oleh orang
Batak sebagai perbuatan berdasarkan hukum dan aplikasinya dibatasi untuk
pelanggaran yang sangat sempit yakni pencurian, perzinaan, mata-mata,
atau pengkhianatan. Garam, cabe merah, dan lemon harus diberikan oleh
keluarga korban sebagai tanda bahwa mereka menerima putusan masyarakat
dan tidak memikirkan balas dendam.
Baca Juga:
Marwas Alat Musik Tradisional di Indonesia
6. Ida Pfeiffer mengunjungi Batak pada bulan Agustus 1852,
dan meskipun dia tidak mengamati kanibalisme apapun, dia diberitahu
bahwa: "Tahanan perang diikat pada sebuah pohon dan dipenggal sekaligus,
tetapi darah secara hati-hati diawetkan untuk minuman, dan
kadang-kadang dibuat menjadi semacam puding dengan nasi. Tubuh kemudian
didistribusikan; telinga, hidung, dan telapak kaki adalah milik
eksklusif raja, selain klaim atas sebagian lainnya. Telapak tangan,
telapak kaki, daging kepala, jantung, serta hati, dibuat menjadi
hidangan khas. Daging pada umumnya dipanggang serta dimakan dengan
garam. Para perempuan tidak diizinkan untuk mengambil bagian dalam makan
malam publik besar ".
Ritual kanibalisme ini mulai hilang ketika pada tahun 1890,
pemerintah kolonial Belanda melarang kanibalisme di wilayah kendali
mereka. Rumor kanibalisme ini bertahan hingga awal abad ke-20, dan telah
jarang dilakukan sejak tahun 1816 karena pengaruh agama pendatang.
Tarombo
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Search Populer:
- budaya suku dayak kalimantan barat
- makalah kebudayaan suku dayak
- kehidupan sosial suku dayak
- gambar kebudayaan suku dayak
- unsur kebudayaan suku dayak
- kebudayaan suku minang
- kebudayaan masyarakat asmat
- sistem kesenian suku dayak
0 Response to "Asal Usul dan Kebudayaan Suku Batak ( Artikel Lengkap )"