Sejarah dan Kebudayaan Suku Toraja ( Artikel Lengkap )
Sejarah dan penjelasan kebudayaan suku Toraja. Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan
bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia,
tepatnya di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa. Agama yang dianut mayoritas agama Kristen, dan sebagian
lainnya menganut Islam dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Aluk
To Dolo telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama yaitu suku
Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut),
suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di
dataran tinggi).
Arti kata Toraja
Menurut beberapa sumber kata toraja berasal dari
bahasa Bugis
yaitu to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri
atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.
Masuknya agama
kristen
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom.
Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal
tahun 1900-an, misionaris Belanda datang
dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada
tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan
oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang
terus meningkat.
Sejarah
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk
Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan,
adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran
tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran
tinggi.
Pada abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan
perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).
Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah
(tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit
lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap
pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku
Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai
target yang potensial untuk dikristenkan.
Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai
dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan
agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah
garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana
Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan
Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat
dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan
Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara
paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja,
dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun
1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada
tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan
Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan
agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar
yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia,
Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang
dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah
negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun
tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh
penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang
diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik,Hindu dan Buddha. Kepercayaan
asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya
menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun
1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Masyarakat
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku
Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki
nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa.
Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek
umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang
pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk
bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung
secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam
pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan
bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya
dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan
sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah
kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya
sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa
menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok;
kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan
antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi
dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam
hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus
mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh
duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan
daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.
Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian
dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial:
1. Bangsawan
2. Orang biasa
3. Budak
Namun perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia
Belanda. Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk
menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status
pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat
jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal
di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil
yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata
boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam
keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang
mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak
sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik
keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan
perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi
anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai
perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan
seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut
yaitu hukuman mati.
Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah
kepercayaan animisme politeistik yang
disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai
"hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga
dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara
berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta,
menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan
dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan
kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah
yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas,
ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong
Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa
bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo
Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus
dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman,
disebut to minaa (seorang pendetaaluk). Aluk bukan hanya
sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian,
dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa
dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual
kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual
kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual
kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja
tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi
diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering
dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang
dilaksanakan.
Kebudayaan
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di
atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.
Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon (duduk).
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja.
Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan
spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut
cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.
Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan
biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan
yaitu :
1. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang
digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
2. Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki
wewenang tertentu dalam adat
dan tradisi local
3. Tongkonan batu adalah tempat tinggal anggota keluarga
biasa.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang
biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu
Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja
membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang
melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti
kepiting dan
kecebong yang
melambangkan kesuburan.
Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual
yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang
bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang
bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan
cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah
sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang
bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam
masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan
disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa
sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin
berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan
dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku
Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan
akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan
puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik
dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang.
Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam
gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya
kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan
waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu
digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang
disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti
mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut
biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.
Musik dan Tarian
Tarian suku Toraja biasa dilakukan dalam beberapa acara,
kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka
cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang
arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama,
sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk
menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong). Ritual
tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Pada
hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk
memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan
tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya.
Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah
dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama
upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil
bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu.
Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan
hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok
anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang
disebut Ma'dondan.
Suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen.
Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan
tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang
menumbuk beras Ada
beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh
pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama
Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang
disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun
sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama
mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang
disebut Pa'suling. Suling ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada
tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria
yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga
mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat
dari daun palem dan
dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.
Bahasa
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem
tulisan. Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan
Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan
oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah
dasar di Tana Toraja.
Beberapa ragam bahasa di Toraja antara
lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' ,
dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari
bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat
geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa
Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa
dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi,
yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari
keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan
tentang duka cita kematian. Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan
kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi
orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa
kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk
mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Filosofi Tau
Masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan
masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan
dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja)
sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar
utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara
lain:
1. Sugi' (Kaya)
2. Barani (Berani)
3. Manarang (Pintar)
4. Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana)
Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas
karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas.
Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan
hidup sebagai Tau.
Search Populer:
- pemakaman suku toraja
- senjata suku toraja
- ciri fisik suku toraja
- bahasa suku toraja
- kesenian suku toraja
- artikel makalah kebudayaan suku toraja
- pakaian adat suku toraja
- makalah suku toraja
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Toraja ( Artikel Lengkap )"