Sejarah Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan
Di
tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung
jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut
masyarakat adat Ammatoa—dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah memberi
secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam. Masyarakat adat Ammatoa yang
hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, mengelola sumberdaya hutan
secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km)
dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini
disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari
atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu
yang harus dihormati dan dilindungi.
Secara
geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam
dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara
lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan
sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara
keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah
Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat.
Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa
desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona,
Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.
Namun,
hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya
berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana
dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda
teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat
merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian
serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa.
Masyarakat
Ammatoa memraktekkan sebuah agama adat yang disebut dengan Patuntung.
Istilah Patuntung berasal dari tuntungi, kata dalam bahasa
Makassar yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti “mencari
sumber kebenaran. Ajaran Patuntung mengajarkan—jika manusia ingin
mendapatkan sumber kebenaran tersebut, maka ia harus menyandarkan diri pada
tiga pilar utama, yaitu menghormati Tuhan dan Nenek moyang (Turiek Akrakna). Kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek
Akrakna merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung.
Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta
segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa.
Turiek Akrakna
menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang
(sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang
bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti “pesan”. Namun,
pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan
pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan
dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi
ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan
oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka
akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam
sebuah pasang yang berbunyi “Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai
pesokki Yang artinya: Kalau
kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh.
Agar
pesan-pesan yang diturunkan-Nya ke bumi dapat dipatuhi dan dilaksanakan oleh
manusia, Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga,
menyebarkan, dan melestarikan pasang tersebut. Fungsi Ammatoa
dalam masyarakat Kajang adalah sebagai mediator, pihak yang memerantarai antara
Turiek Akrakna dengan manusia. Dari mitos yang berkembang dalam
masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan
oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat
pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang
sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat
tinggal mereka saat ini sebagai Tanatoa, “tanah tertua”, tanah yang
diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka percaya, konon di suatu hari dalam
proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari
langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Akrakna atau
Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi
seekor burung Kajang atau burung gagak yang menjadi cikal bakal manusia. Saat
ini, keturunanya telah menyebar memenuhi permukaan bumi. Namun, di antara
mereka ada satu kelompok yang sangat dia sayangi, yakni orang Kajang dari Tanatoa.
Bagi orang Kajang, kepercayaan tentang To Manurung ini diterima sebagai sebuah
realitas. Di tanah tempat To Manurung mendarat, mereka mendirikan sebuah desa
yang disebut sebagai Tanatoa atau tanah tertua. Karena itu, mereka
meyakini To Manurung sebagai Ammatoa (pemimpin tertinggi Suku Kajang)
yang pertama dan mengikuti segala ajaran yang dibawanya.
Kini,
ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan nama burung Kajang kemudian
digunakan sebagai nama komunitas mereka.
Suku Kajang Dengan Tradisi Yang Masih di Pegang Teguh. Suku
Kajang merupakan salah satu suku yang mendiami bagian daerah Tana Toa Bulukumba
Sulawesi Selatan. Suku ini dikenal masih memegang teguh tradisi nenek moyang. Uniknya
suku ini sangat mudah dikenali karena mereka selalu memakai pakaian yang serba
hitam.
Seperti yang dikutip dari laman www.alambudaya.com, Suku Kajang ini mempunyai
aturan tersendiri untuk mengatur masyarakatnya, namun aturan tersebut tetap
membuat walaupun begitu ternyata mereka hidup selaras dengan masyarakat sekitar
walapun mereka yang bukan suku dari suku Kajang.
Suku Kajang telah menghuni wilayah Tanah Toa sejak 2.200
tahun lalu. Terdapat sekitar 3947 penduduk dan 600 hektar hutan adat milik suku
Kajang.
Alasan mereka berpakaian serba hitam adalah sebagai gambaran
proses hidup mereka. Mentri atau para pembicara yang ditunjuk Amatoa (desa
adat) mengatakan bahwa alasan mereka berpakaian hitam tersebut karena suku
Kajang meyakini bahwa mereka lahir dari rahim ibu yang gelap gulita. Oleh
karena itu sepanjang hidup hingga kematian mereka juga harus dalam keadaan yang
juga gelap gulita.
Selain itu mereka tetap konsisten menjalani hidup sederhana
tanpa mengikuti perkembangan teknologi. Meskipun sebenarnya desa mereka hanya
berjarak 5 kilometer dari kota. Mungkin dari cara hidup sederhana itulah yang
membuat banyak dari suku Kajang yang berusia sekitar 90 tahun.
Rumah suku kajang berbentuk panggung yang terbuat dari papan
yang dibangun tanpa menggunakan satupun paku besi. Paku yang mereka gunakanan
juga terbuat dari kayu. Benda benda modern mereka hindari dan dilarang digunakan
dikampung ini. Toilet dan kamar mandi dibuat dari tumpukan batu setinggi 1
meter di bawah pancuran air dari gunung. Dan uniknya lagi suku Kajang hidup
tanpa menggunakan listrik dan alat elektronik. Ketika malam hari mereka
menggunakan obor untuk alat penerangan.
Karena kehidupan yang tertutup, sebagian besar profesi
mereka adalah sebagai petani dan berkebun, salah satunya adalah bertani jagung.
Hasil tani atau kebun sebagian besar digunakan oleh mereka sendiri. Sebagian hasil
tani disimpan dibagian depan rumah agar bisa mencukupi hidupnya selama berbulan
bulan.
Search Populer:
- kesaktian suku kajang
- ilmu hitam suku kajang
- agama suku kajang
- adat perkawinan suku kajang
- ilmu hitam suku kajang amma toa
- sihir suku kajang amma toa
- makalah suku kajang
- tanah toa
0 Response to "Sejarah Suku Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan"