Sejarah dan Kebudayaan Suku Bawean
Orang Bawean adalah satu komunitas yang
berdiam di pulau Bawean. Pulau yang luas 188.66 kilometer persegi ini
terletak di laut Jawa, sekitar 80 mil sebelah utara kota Gresik. Wilayah
pulau ini terbagi atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan
Kecamatan Tambak, yang termasuk bagian dari wilayah administratif
Kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur.
Keadaan alam pulau ini berbukit-bukit dengan puncak tertinggi hanya 655 meter di atas permukaan laut. Angin laut yang berhembus ke pulau itu dapat mengakibatkan curah hujan cukup tinggi dan mengakibatkan kelembaban yang cukup tinggi pula. Iklim yang terwujud terasa cukup segar dibandingkan dengan iklim di pesisir utara pulau Jawa. Sebagian besar tanah di sekitar pantai merupakan lumpur dan pasir yang mengendap. Secara umum pulau ini tidak terlalu cocok untuk pertanian.
Kekhasan pulau Bawean ini memiliki suaka margasatwa rusa Bawean (Axix hyelaphax kuhihi), satu jenis rusa yang langka di dunia. Berdasarkan surat keputusan Menteri Pertanian tahun 1970 rusa Bawean ini dilindungi dan tidak boleh diusik dari habitat aslinya di pulau Bawean ini. Rusa ini termasuk berukuran kecil. Rusa jantan berukuran panjang total 1.400 mm, tinggi sampai bahu 650 mm dan berat badan 45 kilogram. Tinggi bahu lebih rendah dari pada pantat sehingga menunjukkan sikap merunduk. Masing-masing tanduk mempunyai tiga cabang, yang satu pendek dan dua cabang lain panjang seperti garpu. Bulunya berwarna coklat kecuali di bagian leher dan sering di sekitar matanya berwarna putih. Perlindungan dan pelestarian rusa ini diawasi oleh delapan orang petugas.
Pada mulanya, pulau ini dihuni oleh penduduk yang berasal dari Madura. Sementara pendapat menyatakan proses masuknya orang Madura kesini adalah sekitar tahun 1.350. Namun sekarang penduduk pulau ini tidak mau disebut orang Madura atau turunan orang Madura. Mereka ini memang merupakan hasil pembauran dengan para pendatang dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera, sehingga lahirlah satu masyarakat yang menamakan dirinya orang Bawean. Orang dari Sulawesi itu adalah orang-orang Bugis, dan yang dari Sumatera adalah orang Palembang yang di Bawean disebut "Kemas".
Beberapa data penduduk pulau ini, misalnya data sensuk penduduk tahun 1930 menunjukkan jumlah 29.860 jiwa. Sekitar 30 tahun kemudian, yaitu dalam sensus penduduk tahun 1961 telah menjadi 52.472 jiwa, dan pada sekitar 30 tahun berikutnya lagi menjadi 61.802 jiwa. Perlu dicatat bahwa apabila dibandingkan antara tahun 1987 yang jumlah penduduknya 66.231 jiwa, maka jumlah penduduk pulau ini menjadi turun dibandingkan tahun 1990 tersebut di atas. Gejala lain yang juga menarik bahwa bila dilihat jumlah menurut jenis kelamin pada setiap sensus itu, jumlah jenis kelamin perempuan selalu lebih besar dari pada laki-laki. Itulah sebabnya pulau ini biasa pula dijuluki dengan nama "Pulau Wanita".
Sebagian besar orang Bawean hidup dari pertanian sawah dan menangkap ikan (nelayan). Pertanian sawah ada yang dilaksanakan dengan setengah teknis dengan menggunakan irigasi, sedangkan sebagian lain merupakan sawah tadah hujan. Pada masa terakhir ini para nelayannya telah sering menggunakan perahu motor sehingga hasilnya bisa langsung dibawa ke Jawa atau ke pulau Madura. Ikan yang ditangkap adalah ikan tuna dan ikan bingkul. Selain itu penduduknya ada yang membuat tikar sebagai hasil kerajinan.
Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan dalam bidang ekonomi, orang Bawean dikenal dengan budaya "merantau"nya, yang sudah berlangsung sejak sekitar 150 tahun yang lalu. Mereka merantau antara lain ke Singapura dan Malaysia, dan tentunya ke daerah lain di Indonesia. Di Singapura mereka disebut orang Boyan. Waktu merantau itu ada yang dalam jangka lama, sehingga Bawean sebagai kampung halaman hanya seolah-olah hanya untuk tempat lahir dan untuk mati saja. Bagaimanapun selama di rantau selama puluhan tahun mereka ingin tetap kembali ke Bawean. Namun sebagian dari mereka merantau itu untuk sekedar mencari uang dan setelah dapat mereka kembali lagi ke kampung.
Kisah merantau sudah merupakan bahan obrolan sehari-hari di langgar atau di masjid. Bagi orang Bawean keinginan merantau itu telah ditanamkan sejak kecil dan telah menjadi bagian dari budaya mereka. Mengalirnya orang Bawean ini ke Singapura misalnya bukan lagi sebagai hal yang unik. Sebagai contoh saja jumlah mereka di Singapura tahun 1901 sebanyak 2.712 orang, tahun 1921 sebanyak 6.589 orang, tahun 1931 sebanyak 9.413 orang, tahun 1947 sebanyak 15.434 orang, tahun 1957 sebanyak 22.167 orang, dan yang terakhir tahun 1992 telah menjadi sekitar 70.000 orang. Data di atas menunjukkan dari tahun ke tahun jumlah orang Bawean di Singapuran semakin meningkat, yang juga ditunjukkan bahwa jumlah mereka di pulau Bawean menjadi lebih sedikit dari pada di perantauan itu.
Pada awalnya orang Bawean ini menganut kepercayaan yang animistis. Kemudian masuk pengaruh Hindu dan Buddha sesuai dengan peninggalan yang terdapat di desa Sidogedong Batu. Kini mereka adalah pemeluk agama Islam, yang diperkirakan setidak-tidaknya sejak sekitar tahun 1601. Pengalaman agama terbilang cukup kuat yang terlihat dari banyaknya tempat-tempat ibadah, seperti masjid, langgar dan madrasah. Anak-anak laki-laki yang berusia enam atau tujuan tahun mendapat pelajaran Agama atau mengaji di langgar. Anak perempuan mendapat pelajaran mengaji dan menginap di rumah kiyai perempuan. Para kiyai cukup dihormati dalam masyarakat Bawean.
Search Populer:
- pakaian adat suku bawean
- ciri khas suku bawean
- senjata suku bawean
- nama rumah adat suku bawean
- nama pakaian adat suku bawean
- tarian suku bawean
- makanan khas suku bawean
- agama suku bawean
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Bawean"