Sejarah dan Kebudayaan Suku Dayak Lawangan
Lawangan adalah salah satu subsuku bangsa
Dayak Ngaju yang berdiam di Kalimantan Tengah. Subsuku bangsa Dayak
Lawangan masih dapat dibagi atas 21 kelompok kecil atau suku.
Kelompok-kelompok kecil itu ialah suku Lawangan Karau, Singa
Rasi, Paku, Ayus, Bawu, Tabuyan Mantararan, Malang, Tabuyan Teweh,
Mangku Anam, Nyumit, Bantian, Purui, Tudung, Bukit, Leo Arak, Mungku,
Benuwa, Bayam, Lemper, Tungku Lawangan, dan Pauk.
Orang Lawangan berdiam pada tujuh kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Barito Selatan dan Barito Utara. Kecamatan yang dihuni orang Dayak Lawangan di Kabupaten Barito Selatan adalah Kecamatan Dusun Tengah dan Pematang Karau. Di Kabupaten Barito Utara, orang Dayak Lawangan berdiam di Kecamatan Gunung Purei, Montalat, Gunung Timang, Tewoh Timur, dan Teweh Tengah.
Daerah Dayak Lawangan ini merupakan daerah paling timur dari
Provinsi Kalimantan Tengah, yang merupakan pertemuan ujung timur lembah
banto dan kaki barat Pegunungan Meratus Berbaris. Mereka pada umumnya
berdiam di sepanjang aliran sungai, namun ada pula yang bermukim di
daerah perladangan yang berjauhan dengan aliran sungai tertentu.
Baca Juga:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Lintang
Ciri fisik orang Dayak Lawangan ialah tinggi tubuh 150-160 sentimeter, muka lonjong dan tulang pipi menonjol, warna kulit sawo matang dan rambut hitam lurus atau ikal. Mereka menggunakan bahasa Lawangan dan menganut kepercayaan Keharingan. Berdasarkan sumber mitologi, mereka konon berasal dari Gunung Luwang atau Gunung Lobang di Kalimantan Timur.
Budaya Dayak Lawangan pernah mendapat sentuhan budaya Hindu.
Candi agung gan Candi Laras yang terletak di dekat Amuntai, Kalimantan
Selatan, merupakan bangunan yang dikerjakan oleh orang-orang Maanyan dan
Lawangan. Sentuhan kebudayaan Islam misalnya terlihat dari penggunaan
istilah pengulu untuk menyebut pemimpin agama yang mengurus perkawinan.
Kedatangan penjajahan Belanda tidak memberikan pengaruh nyata bagi
kebudayaan Dayak Lawangan. Zaman kemerdekaan memberikan banyak perubahan
kepada masyarakat Dayak, terutama dengan masuknya pendidikan formal.Mata pencaharian mereka belum menunjukkan diversifikasi yang besar. Mereka umumnya berladang berpindah-pindah. Dalam rangka panenan di ladang, mereka mengembangkan suatu tradisi berdasarkan kepercayaan. Hasil panen dibagi menjadi empat bagian. Seperempat bagian untuk kebutuhan petani beserta keluarganya, seperempat untuk kepentingan upacara keagamaan, seperempat diperuntukkan bagi margasatwa, dan karena itu tidak perlu dituai, bagian terakhir juga tidak dituai, melainkan dibiarkan gugur dan hancur menjadi tanah lagi dengan maksud menyuburkan tanah kembali.
Mata pencaharian lainnya adalah meramu hasil hutan untuk
mendapatkan madu, lilin, damar, rotan, getah, dan kayu pemuat perahu.
Perkebunan karet baru mereka kembangkan sejak awal abad ke-20. Alat-alat
mereka antara lain beliung, parang, pisau, peraut, tugal dan aniani.
Baca Juga:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Mandailing
Garis keturunan bersifat matrilineal, dengan adat menetap sesudah nikah matrilokal, artinya sang suami menetap di lingkungan kerabat istri. Kekuasaan mertua sangat besar dan seorang mertua harus dihormati oleh menantu laki-lakinya. Apabila sang menantu melakukan kesalahan besar, ia akan dijatuhi hukum parakelah. Kalau ia dinyatakan harus keluar dari keluarga mertuanya, segala haknya atas anak dan harta menjadi gugur.
Masyarakat Dayak Lawangan juga mengamalkan adat ganti tikar
(sosorat), artinya bila sang istri meninggal, suami harus kawin dengan
saudara perempuan istrinya itu. Adat ini bertujuan agar pemilikan harta
tetap berada pada mertua.
Search Populer:
- bahasa lawangan
- kamus bahasa dayak lawangan
- asal usul dayak lawangan
- kebudayaan suku lawangan
- dayak taboyan
- suku maanyan
- minangkabau tanjung koto panyalai dan mentawai merupakan suku yang terdapat di
- dayak paser
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Dayak Lawangan"