Sejarah dan Kebudayaan Suku Dondo
Orang Dondo berdiam antara lain di Desa
Oyom, Kecamatan Baolan,Kabupaten Buol Toli-Toli, Provinsi Sulawesi
Tengah. Pihak Kementerian Sosial masih menggolongkan mereka sebagai
"masyarakat terasing".
Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan kelompok itu tersebar di berbagai tempat yang umumnya di tepi sungai di tengah hutan. Nama kelompok itu biasanya sama dengan nama sungai yang mereka tempati, misalnya sungai Salungan, sungai Ogomolobu, sungai Oyam, sungai Kombuno.
Mereka berdiam dalam rumah-rumah panggung setinggi 1,5 meter
di atas tanah yang berbentuk empat persegi panjang dengan ukurannya
sekitar tiga kali empat meter. Tiang rumah terbuat dari kayu bulat, atap
daun rimba, dinding kulit bambu, dan lantai kulit bambu atau kayu.
Bahan-bahan tadi diikat dengan rotan. Rumah-rumah itu umumnya hanya
mempunyai satu pintu dimana dipasang tangga untuk turun dan naik.
Dilihat dari ciri-ciri fisiknya orang Dondo tergolong ras Veddoid,
dengan bentuk tubuh kurus, muka oval, rambut ikal berwarna hitam, kulit
sawo matang. Sikap mereka umumnya bersifat regresif, pemalu dan rendah
diri, namun terbuka dan jujur. Bahasa yang digunakan adalah bahasa
Tialo, yang merupakan dialek dari bahasa yang terdapat di pantai timur
Kabupaten Donggala. Pada tahun 1988 di Desa Oyom, jumlah mereka adalah
sekitar 750 jiwa yang tergabung dalam 150 kepala keluarga.
Baca Juga:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Dompu
Mata pencaharian utamanya adalah berladang. Ladang itu dikerjakan dengan sistem tebang bakar (slash and burn) dan berpindah-pindah. Di ladang mereka menanam padi dan palawija seperti kacang hijau, kacang tanah, ubi kayu, ubi rambat, cabe, dan lain-lain. Sekarang mereka juga sudah menanam pisang, kelapa, coklat, dan kopi. Mata pencaharian sampingan adalah berburu, menangkap ikan, meramu hasil hutan. Berburu biasa dilakukan perorangan atau dalam kelompok, yakni berburu kijang, babi, dan ayam hutan. Alat berburu adalah tombak, jerat, panah, serta dibantu oleh anjing.
Kehidupan satu keluarga dimulai dengan pemilihan
jodoh yang terserah kepada sang anak yang kemudian direstui oleh orang
tua kedua belah pihak. Seorang dianggap sudah dewasa setelah berusia
sekitar 16 tahun dan pernyataan kedewasaan itu ditandai dengan
pemotongan atau pengasahan gigi. Adat menetap sesudah nikah rupanya
bersifat utrolokal, artinya sepasang penganten bisa memilih tinggal di
lingkungan kerabat suami atau di lingkungan kerabat istri. Adat mereka
juga membenarkan perkawinan pologini artinya beristri lebih dari satu.
Perceraian merupakan hal yang biasa kalau sudah tidak lagi terdapat
kecocokan antara suami dan istri. Namun perceraian itu harus diketahui
oleh kepala adat (Kapitalau).
Secara formal mereka umumnya telah memeluk agama Islam atau
agama Kristen. Hal ini setelah mereka ada kontak dengan anggota
masyarakat kelompok yang ada di sekitar daerah mereka. Namun, mereka pun
masih saja belum tuntas meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya. Dalam
menghadapi kematian mereka pernah mengenal kebiasaan memasukkan mayat
ke dalam pohon sagu yang diisi telah dikerok. Penguburan dilakukan di
halaman rumah sendiri. Para anggota kerabat tidur di sekitar kuburan itu
untuk beberapa waktu lamanya, guna menemani kerabat yang meninggal itu.
Peringatan atas kematian itu ada yang berlangsung selama tujuh hari
atau lebih bagi yang mampu.
Baca Juga:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Blagar
Search Populer:
- Sejarah Suku Dondo
- makanan Suku Dondo
- Budaya Suku Dondo
- suku indonesia
- Daftar Suku di indonesia
- suku di indonesi terlengkap
- suku di indonesia
- suku di indonesia beserta gambarnya
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Dondo"