Sejarah dan Kebudayaan Suku Karon
Karon adalah satu kelompok etnik penduduk
asli di Provinsi Papua Barat, mereka hidup tersebar di wilayah Kabupaten
Sorong. Sebagian besar dari anggota masyarakat Karon ini masih berdiam
di daerah pedalaman, di lembah dan pebukitan pegunungan Arfak, namun
sebagian lainnya sudah berdiam di daerah pantai.
Di daerah pantai itu, mereka ada yang sudah bercampur dengan
anggota suku bangsa lain, misalnya dengan orang Biak, orang Karondoti,
Moi, Pada, Madik, Meyakh, Arfak, dan lain-lain. Mereka terbagi atas
kelompok-kelompok kecil yang tinggal berjauhan, dihinggapi oleh
lingkungan hutan lebat. Sungai-sungai yang melintasi daerah pemukiman
mereka itu menjadi sumber air minum dan arena untuk mata pencaharian.
Jumlah orang Karon tidak diketahui secara pasti karena belum ada data
tentang hal itu. Jumlah mereka tidak diketahui di antara 179.732 jiwa
penduduk Kabupaten Sorong. Mereka mempunyai bahasa sendiri, yaitu bahasa
Karon. Bahasa Karon tergolong pula bahasa-bahasa Weme dan berapa jumlah
penutur bahasa ini juga tidak jelas.
Sebuah kampung tempat pemukiman mereka biasanya terdiri dari
beberapa rumah (amach peron). Rumah-rumah itu umumnya berdiri di atas
tiang atau rumah panggung setinggi satu meter di atas tanah, dengan
ukuran luas sekitar 4 x 5 meter, terdiri dari satu ruangan dan satu
pintu. Di tengah ruangan ini ada tungku tempat memasak. Dinding rumah
itu terbuat dari gaba-gaba dan atapnya dari daun sagu. Rumah semacam ini
dihuni oleh satu keluarga inti atau keluarga inti ditambah dengan
beberapa kerabat lain. Selain rumah tersebut ada pula rumah yang dibuat
di daerah peramuan sagu, bangunan dengan ukuran lebih kecil dari rumah
biasa tadi, yang disebut amach wora. Rumah ini dihuni pada musim sibuk
bekerja di ladang sagu tadi. Selain itu ada pula yang membuat pondok
(ana wora) bangunan yang hanya ada atap, tanpa dinding, yang digunakan
sebagai tempat beristirahat di ladang.
Mata pencaharian utamanya meramu sagu, dan sagu itu sendiri
merupakan makanan pokok mereka. Pokok-pokok sagu itu sendiri tumbuh
secara alamiah dan mereka mendapat ladang sagu yang dibagi secara adat.
Mereka yang berburu (pomsiah) secara perorangan atau berkelompok,
hasilnya untuk dikonsumsi keluarga sendiri atau berkelompok, hasilnya
untuk dikonsumsi keluarga sendiri atau untuk kepentingan upacara.
Binatang buruan untuk upacara adalah babi, sedangkan untuk dikonsumsi
sendiri, misalnya buaya, kelelawar, tikus, biawak, burung. Teknik
berburu babi dilakukan dengan dua macam teknik. Pertama dengan bantuan
anjing sambil menggiringnya ke satu tempat di mana siap untuk ditomak.
Kedua dengan menggali lobang sebagai perangkap (kayach). Lobang itu
dibuat di jalan yang sering dilalui oleh binatang itu dan pada waktunya
terperosok ke dalamnya.
Keluarga inti merupakan kelompok kerabat yang penting. Prinsip penarikan garis keturunan adalah berasas patrilineal yang ditandai oleh nama fam atau klen pihak laki-laki. Mereka mengenal dua pelapisan sosial, yaitu pelapisan atas terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat (raenason) misalnya orang kaya (tuan), orang berpengaruh atau berpengetahuan (raewun). Lapisan bawah merupakan orang yang kebanyakan. Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang terpilih, misalnya orang tua yang memiliki pengetahuan luas tentang adat. Untuk menjadi tokoh adat harus mengikuti pendidikan tradisional dan mempunyai keinginan berbakti untuk kepentingan masyarakat. Tempat latihan pendidikan tadi dilakukan di rumah adat (nyewon) dari suatu kelompok besar. Salah seorang di antaranya diangkat sebagai kepala adat yang mempunyai kekuasaan tertinggi sebagai pelaksana aturan adat. Selain itu adalah orang-orang yang berpengetahuan tentang berburu, pengetahuan tentang obat-obatan, perdukunan dan sebagainya. Orang kaya merupakan sekelompok orang yang memiliki kekayaan secara materiil seperti pemilikan tanah yang luas, memiliki kain timor, mempunyai anak buah sebagai pegawai dan pengikut yang disebut kausune. Pada umumnya mereka adalah keturunan pedagang yang sudah lama hidup di pantai.
Orang Karon mempunyai kegemaran mengumpulkan kain timor dan
keramik. Kedua macam benda ini sebenarnya berasal dari luar pulau Papua.
Benda itu mempunyai nilai sosial yang tinggi bagi pemiliknya dan
sebagai simbol status di dalam masyarakat. Benda itu dijadikan sebagai
benda pusaka secara turun temurun menurut garis patrilineal tadi.
Benda-benda itu juga digunakan sebagai mas kawin yang diserahkan kepada
pihak wanita. Kain timor terbagi dua yaitu kain timor pusaka (ot) yang
biasanya disimpan oleh kepala adat di satu tempat yang khusus, kain ini
disimpan di luar rumah agar terhindar dari pencurian dan kerusakan. Kain
ini diyakini membawa berkah bagi pemiliknya. Kedua adalah kain timor
jalan yang disebut juga teon adalah kain yang digunakan dalam aktivitas
tukar menukar dengan benda lain, terutama antara penduduk pantai dengan
penduduk pedalaman. Kain ini secara terus menerus beredar dan berganti
pemilik di kalangan tatanan kehidupan orang Karon, artinya ada aturan
tertentu dalam kegiatan tukar menukar tadi, orang yang tidak
menyesuaikan diri dengan aturan tersebut akan terkena sanksi sosial
misalnya berupa pengucilan, atau pembayaran denda.
Search Populer:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Mare
Sebagian besar orang Karon telah memeluk agama Katolik,
meskipun demikian mereka masih percaya kepada makhluk-makhluk halus di
sekitar mereka, baik makhluk halus yang menolong manusia maupun yang
jahat. Makhluk halus yang baik itu sering membantu manusia dalam
menyuburkan tanah, menolak bahaya, memelihara rumah, dan lain-lain.
Sedangkan makhluk yang jahat (suanggi) sering mengganggu manusia yang
menimbulkan kecelakaan atau membawa bencana.
Search Populer:
- Suku Karon
- sejarah Suku Karon
- budaya Suku Karon
- suku indonesia terlengkap
- suku indonesia bergambar lengkap
- Suku Karon lengkap
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Karon"