Sejarah dan Kebudayaan Suku Lauje
Lauje adalah suku bangsa yang antara lain
berdiam di wilayah kecamatan Tomini, Kabupaten Donggala, Provinsi
Sulawesi Tengah. Dalam penelitian lapangan tentang sistem budaya
masyarakat terasing di Sulawesi Tengah yang dilakukan oleh Anrini Sofion
dan Tri Choesianto (1986), orang Lauje diperkirakan tidak hanya berdiam
di Kecamatan lain dalam kabupaten Donggala, bahkan ada pula yang
berdiam di wilayah Kabupaten Poso dan Luwu Banggai. Jumlah orang Lauje
di wilayah Kecamatan Tomini, yang seluruh penduduknya berjumlah 37.032
jiwa pada tahun 1984, tidak lagi diketahui secara pasti. Di Kecamatan
ini mereka sebagian berdiam di sekitar pantai Teluk Tomini dan lainnya
di daerah pegunungan.
Ciri Fisik Orang Lauje
Dalam laporan penelitian tersebut diatas dapat diketahui ciri-ciri fisik
orang Lauje, antara lain, tinggi tubuh kaum prianya rata-rata 160
sentimeter, dan kaum wanita 150-155 sentimeter. Warna kulitnya Sawo
matang sampai kehitam-hitaman. Rambutnya sebagian lurus dan sebagian
berombak dengan warna agak kemerah-merahan. Rongga mata agak cekung ke
dalam dengan warna mata hitam. Sayap dan lubang hidung agak lebar.
Bentuk mulut lebar dan bibir tebal. Gigi tampak besar dan kuat pada
rahang yang besar.
Pola Perkampungan suku Lauje
Pola pemukiman orang Lauje di daerah pegunungan berbeda dengan yang
tinggal di daerah pantai. Di daerah pegunungan mereka mendiami rumah di
tengah ladang masing-masing, yang jaraknya satu sama lain mencapai satu
kilometer. Rumah itu boleh dikatakan bukan rumah tetap, karena kalau
keadaan tanah perladangannya sudah tidak subur, mereka akan pindah dan
membuat rumah baru lagi. Rumah itu terbuat dari bahan kayu dengan atap
rumbia atau daun kelapa. Rumah panggung itu terkadang tidak terdinding,
karena atapnya langsung sampai ke tanah. Bagian dalam tidak mengenal
pembagian ruangan, dan disitulah mereka bekerja, makan, dan tidur. Rumah
orang Lauje di daerah pantai tampak mengelompok padat dan berjejer
menghadap jalan. Disini rumah panggung yang terbuat dari bahan yang sama
seperti di pegunungan sudah mengenal pembagian ruangan karena pengaruh
dari luar.
Mata Pencaharian Suku Lauje
Mata pencaharian pokok mereka adalah bercocok tanam di ladang yang masih
berpindah-pindah, dengan tanaman utama padi dan jagung. Selain itu
mereka juga menanam sayur-sayuran. Akhir-akhir ini mereka sudah mulai
menanam cengkeh dan bawang putih. Orang Lauje di daerah pantai juga
menanam singkong, ubi jalar, pisang, pepaya, mangga liar, dan
sayur-mayur di sekitar pekarangan. Jenis mata pencaharian sambilan lain
adalah mencari rotan, damar, kemiri, membuat kerajinan tangan, berburu,
dan beternak. Pada musim paceklik mereka biasanya makan ubi jalar
(unggayu), ubi hutan atau gadung (ondot) yang tumbuh liar di hutan.
Dalam rangka bertanam padi di ladang, mereka mempunyai suatu
pola kegiatan dengan kepercayaan dan upacara tertentu. Pertama-tama
mereka mengukur tanah yang akan dijadikan ladang yang luasnya sesuai
dengan kemampuan untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran
untuk mengerjakannya. Setelah melakukan pengukuran, mereka meletakkan
sesaji yang ditujukan kepada roh tanah (Togu Ptu') sebagai permintaan
izin. Izin itu ditunggu lewat mimpi selama dua atau tiga hari. Dalam
mimpi itu juga diberikan isyarat berapa lama boleh menggarap tanah
tersebut. Setelah ada izin, barulah pohon-pohon di areal yang sudah
diukur itu ditebang. Alat penebangnya kapak (beliung) dan parang
(piging). Apabila sudah kering, pohon-pohon dibakar, dengan tujuan
memudahkan pembersihannya, menyuburkan tanah, dan mengusir roh jahat
yang berdiam di tanah (puang ma petu'). Kemudian mereka bertanam padi
dan jagung dengan cara melubangi tanah dengan tugal (suang).
Sebelum masa panen tiba, mereka membersihkan rumput
(basube') sebanyak dua kali untuk tanaman padi dan satu kali untuk
tanaman jagung. Kegiatan panen baru bisa dilakukan setelah upacara panen
dilaksanakan. Upacara itu dipimpin oleh pemuka uacara wanita (madodon).
Panen itu dilakukan oleh wanita dengan menggunakan alat ani-ani.
Kekerabatan Suku Lauje
Selain keluarga inti, mereka juga mengenal kelompok kekerabatan keluarga
luas. Suatu keluarga luas berdiam dalam satu rumah, namun setiap
keluarga inti memiliki dapur sendiri. Gabungan keluarga luas merupakan
kelompok yang menyerupai klen patrilineal. Desa Palasa di Kecamatan
Tomini terbagi atas 31 kelompok patrilineal. Setiap kelompok berdiam di
satu daerah tertentu dengan nama-nama tersendiri yang sama dengan nama
gunung atau nama lembah tempat tinggal mereka. Dalam perkawinan mereka
mengamalkan adat eksogami kelompok. Para pemuda dibebaskan memilih
jodohnya sendiri, meskipun pilihan anak tidak selalu disetujui oleh
orang tua. Oleh sebab itu, mereka juga mengenal adat kawin lari.
Terselenggaranya suatu perkawinan didahului oleh beberapa tahap,
yaitu pelamaran, penerimaan lamaran, penyerahan mas kawin, dan
pernikahan. Lamaran dari pihak pria kepada pihak wanita disampaikan
dengan cara mengirim utusan yang membawa piring batu (tolang). Bila
pinangan diterima, pihak pria menyiapkan 11 barang pinangan, yaitu
sehelai sarung batik (bate'), baju kebaya (kabaya), sepasang gelang
(gonge), sepasang anting-anting (anti-anti), jarum (siji'), satu gulung
benang jahit (gapase), sisir (sasalange), satu untai peniti (paniti),
sebuah cermin (pandangan), bedak (pupure), satu buah kantong kain yang
berisi uang sejumlah 100-500 rupiah. Barang lamaran ini diantar oleh
kepala adat pihak pria bersama ayah dan saudara sekandung calon mempelai
itu. Penerimaan lamaran (tinarimane) oleh pihak wanita ditutup dengan
makan bersama.
Penyerahan mas kawin dilaksanakan setelah dua atau tiga minggu lamaran diterima. Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri oleh pria yang telah menikah. Golongan muda-mudi berada di luar rumah, bersuka-ria dengan cara menyanyi dan menari. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara. Mas kawin itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai pembuka kata, satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa, mas kawin yang sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan pedang yang berisi empat buah piring bat. Upacara pernikahan berlangsung dengan berbagai upacara yang sangat rumit.
Penyerahan mas kawin dilaksanakan setelah dua atau tiga minggu lamaran diterima. Penyerahan mas kawin biasanya dilaksanakan pada malam hari, dan hanya boleh dihadiri oleh pria yang telah menikah. Golongan muda-mudi berada di luar rumah, bersuka-ria dengan cara menyanyi dan menari. Penyerahan mas kawin merupakan inti upacara. Mas kawin itu terdiri atas empat tumpukan barang, yaitu satu buah piring batu (sampilubibi) sebagai pembuka kata, satu piring batu (asasala) sebagai pembersih dosa, mas kawin yang sebenarnya (tolang), terdiri atas 12, 10, atau 7 piring baru, sesuai dengan derajat sang gadis, dan pedang yang berisi empat buah piring bat. Upacara pernikahan berlangsung dengan berbagai upacara yang sangat rumit.
Baca Juga:
Sejarah dan Kebudayaan Suku Mandailing
Agama dan Kepercayaan Suku Lauje
Pada masa kini, sebagian orang Lauje memeluk agama Kristen dan sebagian
lagi memeluk agama Islam. Namun, unsur-unsur sistem kepercayaan lama
masih mereka amalkan. Orang Lauje percaya bahwa mereka berasal dari
nenek moyang yang sama. Salah seorang nenek moyang mereka adalah Yongko
Umur, yang kemudian menurunkan Olongian Laki-Laki dan Olongian
Perempuan. Olongian laki-laki berdiam dan memerintah di "alam atas"
(langit). Ia kemudian dikenal dengan nama Ilah Ta'ala. Olongian
perempuan berdiam dan memerintah di "alam bawah" (bawah tanah). Orang
Lauje menyebut olongian perempuan dengan nama Nur Ilah. Kedua olongian
inilah yang kemudian menurunkan orang Lauje yang ada sekarang.
Di samping kedua olongian tadi, orang Lauje masih
percaya kepada beberapa ilah lain yang mempunyai tugas khusus dalam
kehidupan manusia di dunia. Pertama, Raja Tongka Alah yang bertugas
sebagai perantara antara roh-roh orang yang telah meninggal yang berdiam
di langit dan orang yang masih hidup di bumi. Kedua, Puang Ma Petu'
yang berdiam di bawah tanah sebagai ilah perusak. Ketiga, Olongian
sebagai ilah penyelamat yang berada di mata air. Orang Lauje percaya
pula kepada roh-roh halus, yaitu Togu Petu', Togu Ompongan, dan Togu
Ogo. Seperti telah disinggung di atas, Togu Petu', yang bertugas menjaga
tanah, dianggap sangat menentukan berhasil tidaknya usaha di ladang.
Togu Petu', yang bertugas menjaga tanah, dianggap sangat menentukan
berhasil tidaknya usaha di ladang. Togu Ompongan adalah roh penguasa
hutan yang mengawasi aktivitas manusia di hutan. Togu Ogo adalah roh
penjaga air dan penguasa di sungai-sungai. Kepada para roh inilah orang
meminta izin bila hendak melakukan aktivitas tertentu di sekitar
lingkungan kekuasaannya.
Search Populer:
- jumlah suku bangsa di indonesia
- suku bangsa yang ada di indonesia
- suku bangsa adalah
- suku suku di indonesia dan asalnya
- macam macam suku bangsa dan uraiannya
- macam macam suku di indonesia dan penjelasannya
- suku di indonesia berdasarkan provinsi
- jumlah suku di indonesia tahun 2016
0 Response to "Sejarah dan Kebudayaan Suku Lauje"