Suku Motu Poso dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )
Suku Motu Poso, adalah salah satu suku yang terdapat di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Suku Motu Poso berdiam di daerah yang berada dalam wilayah
adat suku Rongga, yang dikenal sebagai Tanah Rongga. Suku Motu Poso
sendiri memiliki peran penting dalam sejarah Tanah Rongga dan suku
Rongga. Suku Motu Poso, dikenal sebagai pemangku jabatan tuan tanah di
wilayah Rongga Ma’bah, juga berperan besar dalam upaya menegakkan
kedaulatan wilayah Rongga di masa lalu.
Suku Motu Poso sendiri apabila dilihat secara fisik bisa dikatakan mirip
dengan suku-suku dari Sulawesi Tengah, seperti orang Kaili. Mereka
memiliki rambut bergelombang sampai keriting, kulit agak gelap dan tubuh
agak kekar, serta ukuran tinggi tubuh sedang, sekitar 155 sampai 165
cm. Mereka memiliki struktur fisik seperti orang Polynesia atau mungkin
juga Weddoid. Kemungkinan di masa lalu suku Motu Poso memiliki
keterkaitan sejarah nenek moyang dengan orang-orang dari Sulawesi
Tengah.
Ada anggapan yang berkembang, mengatakan bahwa nenek moyang orang Motu
Poso berasal dari daerah Bonengkabo, yang dikaitkan dengan nama
Minangkabau. Dengan anggapan ini disimpulkan bahwa suku Motu Poso
berasal dari daerah Minangkabau, tapi bukan keturunan orang Minangkabau.
Secara fisik suku Motu berbeda dengan orang Minangkabau, tetapi kalau
dirunut lebih mendalam, hal ini mungkin saja terjadi. Pada masa lalu di
tanah Sumatra, tepatnya daerah Minangkabau, hidup sekelompok orang yang
memiliki ras weddoid, tapi karena hadir dan berkembangnya orang
Minangkabau dengan pesat, sehingga mendesak penduduk asli yang telah
menghuni wilayah Minangkabau. Dari beberapa tulisan di media web,
dikatakan bahwa penghuni asli tanah Sumatra adalah orang-orang yang
memiliki ras weddoid. Orang-orang yang memiliki ras weddoid ini terdesak
oleh orang Minangkabau yang berkembang dengan pesat dan menduduki
wilayah-wilayah pemukiman orang weddoid di pedalaman Sumatra. Hal ini
kemungkinan bisa dihubungkan dengan bermigrasinya mereka ke tanah
Rongga, dan keturunan-keturunannya kemungkinan menjadi suku-suku di
tanah Rongga, termasuk suku Motu Poso. Kemungkinan ini lebih masuk akal,
karena apabila dikatakan hubungan orang Motu Poso dengan orang
Minangkabau, sama sekali tidak terdapat kemiripan, persamaan atau
sekedar kemiripan dialek.
Sedangkan dalam cerita rakyat suku Motu Poso, dikatakan bahwa nenek
moyang suku Motu Poso adalah Weka dan Ture. Kisah tentang 2 orang
bersaudara yang masuk ke tanah Rongga dalam waktu yang berbeda. Dari
negeri asal di tanah Sumatra, Weka melarikan karena menolak menikah
dengan gadis pinangan orangtuanya (puteri sang Paman). Weka bersama
gadis pilihannya bernama Motu akhirnya memutuskan untuk menuju Loko
Ture. Weka berlayar melewati pantai Selatan Jawa dan kemudian memilih
mendarat di Loko Ture di Manggarai Timur Selatan.
Kepergian Weka kemudian diikuti Ture, sang adik. Kisah perjalanan Ture meninggalkan daerah Minangkabau menuju Loko Ture berlangsung dalam suasana penuh dramatis. Gelombang dan badai memaksa Sampan (Kowa ) yang ditumpangi Ture mengalami kebocoran di Laut Selatan Jawa. Beruntung Ture diselamatkan oleh para nelayan dari pesisir pantai selatan Jawa. Namun upaya pertolongan yang dilakukan pelaut Jawa itu rupanya membawa petaka bagi Ture. Ia ditawan hanya karena salah mengucapkan sebuah kata (puki) yang membuat para pelaut Jawa tersinggung. Hal ini agak membuat heran, karena sebutan "puki", tidak ada dalam bahasa jawa, mengapa harus tersinggung ?, karena sebutan "puki" adalah kata "ucapan kotor/ makian" untuk masyarakat di pulau Sumatra, khususnya bagi masyarakat Melayu di Sumatra, seperti Melayu Sumatra Utara dan Melayu Riau.
Kelanjutan cerita, impian Ture untuk menyusul kakaknya Weka hampir
saja kandas di tangan pelaut Jawa. Namun pada suatu malam dalam
mimpinya, Ture mendapat pentunjuk untuk menyusuri jejak sang kakak.
Dalam mimpinya Ture bertemu dengan ikan paus raksasa yang kemudian
menjadi Dewa Penyelamat dan penunjuk jalan baginya menuju tempat di mana
sang kakak berada. Ture diminta untuk menunggang ikan Lumba-lumba
(ngembu) menuju tempat kediaman sang kakak dengan bekal tujuh buah
ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri Jeruk asam. Tujuh
duri jeruk asam bertujuan untuk menjaga komunikasi antara Ture dan Ikan
Lumba-lumba. Bila selama perjalanan Ture merasa gerah, ia boleh memberi
isyarat dengan menusukan duri jeruk asam pada punggung sang ikan untuk
menenggelamkan diri dari permukaan laut. Demikian juga bila ia sudah
merasa dingin,ia bisa menusuk kembali duri jeruk asam agar sang ikan
mengangkat punggungnya ke atas permukaan air.
Berbekal tujuh buah ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri jeruk asam Ture mampu menyeberangi gelombang dahsyat Laut Selatan Jawa menuju Laut Sawu hanya dalam waktu tujuh hari tujuh malam dan mendarat di Loko Ture, tempat yang semula menjadi tujuan kedatangan kakaknya Weka. Dalam perpisahannya dengan ikan Paus Ture mendapat hadiah dalam bentuk sebuah pedang istimewa yang dimuntahkan dari mulut sang ikan sebagai bekal untuk melawan musuh dan mencari nafkah.
Setelah mengalami berbagai peristiwa selama perjalanannya, akhirnya Ture tiba di Loko Ture, dan menjalin interaksi dengan orang Proto Rongga yang bermukim di sekitar wilayah pantai selatan. Perjumpaannya dengan orang Rongga memuluskan jalannya untuk menemukan jejak atau keberadaan Weka, saudaranya. Lalu akhirnya Ture bertemu dengan Weka, saudaranya tersebut, dan berkumpul kembalilah kedua bersaudara ini. Kisah perantauan dua bersaudara itu terdapat dalam sebuah syair Vera (tarian khas orang Rongga). Weka Ture ndhili mai/tu monggo Sari Kondo Weka welu Jawa Ture / Ti Motu tanah Medzhe
Kisah yang berkembang secara turun temurun itu dikukuhkan dalam upacara/ ritus adat seperti Pau Manu, Pau Wawi, dan Pau Kamba. Dalam acara-acara itu, nama Ture dan Weka selalu disebut sebagai nenek moyang suku Motu sebagai nama pertama mendahului nama nenek moyang lainnya.
Selain itu, juga terjalin persahabatan dan kekerabatan dengan suku-suku di luar wilayah mereka, yang turut memperkuat kekerabatan dalam hubungan ana fai dan ana haki, seperti:
Berbekal tujuh buah ketupat, tujuh ruas bambu berisi air dan tujuh duri jeruk asam Ture mampu menyeberangi gelombang dahsyat Laut Selatan Jawa menuju Laut Sawu hanya dalam waktu tujuh hari tujuh malam dan mendarat di Loko Ture, tempat yang semula menjadi tujuan kedatangan kakaknya Weka. Dalam perpisahannya dengan ikan Paus Ture mendapat hadiah dalam bentuk sebuah pedang istimewa yang dimuntahkan dari mulut sang ikan sebagai bekal untuk melawan musuh dan mencari nafkah.
Setelah mengalami berbagai peristiwa selama perjalanannya, akhirnya Ture tiba di Loko Ture, dan menjalin interaksi dengan orang Proto Rongga yang bermukim di sekitar wilayah pantai selatan. Perjumpaannya dengan orang Rongga memuluskan jalannya untuk menemukan jejak atau keberadaan Weka, saudaranya. Lalu akhirnya Ture bertemu dengan Weka, saudaranya tersebut, dan berkumpul kembalilah kedua bersaudara ini. Kisah perantauan dua bersaudara itu terdapat dalam sebuah syair Vera (tarian khas orang Rongga). Weka Ture ndhili mai/tu monggo Sari Kondo Weka welu Jawa Ture / Ti Motu tanah Medzhe
Kisah yang berkembang secara turun temurun itu dikukuhkan dalam upacara/ ritus adat seperti Pau Manu, Pau Wawi, dan Pau Kamba. Dalam acara-acara itu, nama Ture dan Weka selalu disebut sebagai nenek moyang suku Motu sebagai nama pertama mendahului nama nenek moyang lainnya.
Setelah sekian lama tinggal di wilayah ini, maka kedua bersaudara ini
berkembang keturunannya. Weka memiliki 4 orang putera, dari hasil
perkawinannya dengan perempuan yang dibawa dari tanah asalnya, sedangkan
Ture kawin dengan gadis lokal dianugerahi 3 orang putera. Dari
keturunan mereka berdua ini lah, muncul nama suku Motu. Nama tersebut
diadopsi dari isteri Weka.
Setelah sekian lama, generasi Weka dan Ture pun meninggal,
dan terjadilah perpecahan di antara 2 keluarga ini. Berawal dari
perburuan kera di sekitar wilayah Wae Motu, yang berbuntut perpecahan.
Keturunan Weka dan Ture terpisah. Keturunan Weka, bergerak ke arah Timur
hingga Aimere dan Were, Ngada di wilayah kabupaten Ngada. Sementara
keturunan Ture memilih menetap di wilayah Barat, Wolo Ndeki.
Perpecahan keluarga Motu yang diwakili Sunggisina dan
Amewea, menyebabkan ikatan di antara 2 kelompok suku Motu mulai
renggang. Amewea dan 2 saudaranya mengembara ke wilayah barat Rongga.
Keturunan Amewea mendirikan rumah adat. Sedangkan Manggi, sang adik dari
Amewea, membuat rumah adat baru yang lain, dan mendiami wilayah Poso.
Oleh karena itu akhirnya mereka menamakan diri mereka sebagai suku Motu
Poso. Pengukuhan identitas ini, membedakan suku Motu Poso dengan
suku-suku Motu lainnya yang juga berada di wilayah Rongga.
Suku Motu Poso, seiring waktu berjalan, berkembang dan
memiliki banyak harta. Mereka memiliki peranan utama di wilayah Rongga
Ma’bha. Merekapun dihormati karena dianggap sebagai suku terkemuka
karena memiliki harta dan pengaruh yang besar, suku ini berperan vital
dalam menjaga kedaulatan wilayah Rongga Ma’bha.
Baca Juga:
Suku Being Aring dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Legkap )
Selama suku Motu Poso tinggal di wilayah Rongga, banyak terjadi hubungan
kekerabatan dengan suku-suku lain. Untuk memperkuat hubungan antar
suku, anak perempuan menikah dengan laki-laki dari suku lain, tapi
diwajibkan menyerahkan putera sulung lelakinya kepada suku asalnya. Hal
ini terjadi pada anak sulung Nau dan isteri Weka dari suku Kelok yang
mengembalikan Epa kepada suku asalnya.
Selain itu, juga terjalin persahabatan dan kekerabatan dengan suku-suku di luar wilayah mereka, yang turut memperkuat kekerabatan dalam hubungan ana fai dan ana haki, seperti:
- Suku Sui, sebagai ana haki dari suku Motu Poso. Karena hubungan perkawinan pada masa nenek moyang suku Motu Poso.
- Suku Kiu, suku Motu Poso menghibahkan sebagian tanah untuk suku ini, yang kemudian dijadikan sebagai kawasan gembala (wota). Tempat ini disebut Wota Adzhe Kua.
- Suku Sawu, sebagai ana haki dari suku Motu Poso. Karena hubungan perkawinan suku Motu Poso memberikan sebidang tanah di Tere Angi (bagian atas Kenda).
- Suku Sedzha, sebagai ana haki dari suku Motu Poso.
- Suku Motu, sebagai ana haki dari suku Motu Poso.
Saat ini masyarakat suku Motu Poso, pada umumnya telah memeluk agama
Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Agama Kristen Katolik berkembang
di wilayah ini, diperkenalkan oleh bangsa Portugis yang memasuki wilayah
ini pada tahun 1900-an.
Masyarakat suku Motu Poso hidup pada bidang pertanian, seperti tanaman
padi di sawah, dan juga di ladang dan kebun yang ditanami berbagai jenis
tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Selain itu
mereka juga memelihara beberapa hewan ternak.
Search Populer:
- daftar nama nama suku di indonesia
- macam-macam suku bangsa di indonesia dan penjelasannya
- suku suku di indonesia dan asalnya
- suku di indonesia berdasarkan provinsi
- macam macam suku di indonesia dan penjelasannya
- suku bangsa di indonesia beserta gambarnya
- macam macam suku bangsa dan uraiannya
- suku bangsa dan ciri khasnya
0 Response to "Suku Motu Poso dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )"