Suku Rongga dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )
Suku Rongga,
adalah suatu komunitas masyarakat yang menyebut dirinya suku Rongga,
yang terdapat di kabupaten Manggarai Timur provinsi Nusa Tenggara Timur.
Suku Rongga berbicara dalam bahasa Rongga, yang dituturkan
oleh sekitar 20 suku yang biasanya disebut sebagai sub-suku Rongga, yang
juga merupakan klan atau suku-suku kecil. Sub-suku Rongga yang
memiliki populasi terbesar adalah suku Motu, suku Lowa dan suku Nggeli.
Masing-masing sub suku Rongga mempunyai peran adatnya tersendiri,
misalnya peran pemimpin secara tradisional dipegang oleh kelompok suku
Motu dan Lowa. Setiap suku mempunyai rumat adatnya masing-masing yang
digunakan sebagai tempat menyimpan barang-barang pustaka, upacara adat
dan juga tempat berbagai acara ritual lain diadakan.
Sejarah Masa Lalu
Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur, daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta-merta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad 12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga di bawah pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng di Manggarai Tengah.
Di masa lalu, terdapat suku Keo yang mendiami wilayah Melo, kemudian suku Keo melakukan kontak hubungan dengan suku Todo dan menyatakan wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya, sehingga dengan suku Todo pun menamakan wilayah ini dengan nama Kerajaan Adak Tanah Dena. Padahal dirunut dari sejarah, suku Keo adalah sebagai pendatang di wilayah Rongga. Tapi lama kelamaan suku Todo pun merasa terganggu dengan kehadiran suku Keo yang mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaan suku Keo. Selain itu suku Keo juga tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai, akibatnya suku Todo menyerang dan mengusir suku Keo di wilayah Melo, yang membuat suku Keo mulai terdesak.
Ekspansi suku Todo sekitar abad 18, mendapat dukungan dari suku Rongga yang antipati kepada suku Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan suku Todo dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi suku Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula suku Todo memberikan gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bha). Setelah perkawinan, terjadi ikatan kekerabatan di antara mereka. Suku Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha, untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi ini pun berhasil.
Upaya suku Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan dari suku Rongga yang sudah mengenal karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga Nai Pati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.
Suku Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok dan lain-lain. Hampir selama 100 tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya di bawah dominasi suku Todo.
Sebelum kerajaan Todo mengadakan ekspansi besar-besaran ke wilayah Timur, daerah ini sudah dikuasai orang Rongga selama berabad-abad. Kedatangan suku Keo dari Selatan Barat Laut tidak serta-merta menggeser peran sentral orang Rongga di wilayah ini. Sekitar abad 12 dan 13 terjadi pergolakan besar di mana Suku Rongga di bawah pimpinan suku Motu Poso mengusir sejumlah orang Keo yang datang dan hendak menguasai wilayah ini. Pertempuran itu berhasil mengusir pulang orang Keo. Sebagian yang terdesak melarikan diri ke arah Barat Melo, wilayah kecil yang berbatasan dengan dengan Iteng di Manggarai Tengah.
Di masa lalu, terdapat suku Keo yang mendiami wilayah Melo, kemudian suku Keo melakukan kontak hubungan dengan suku Todo dan menyatakan wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaannya, sehingga dengan suku Todo pun menamakan wilayah ini dengan nama Kerajaan Adak Tanah Dena. Padahal dirunut dari sejarah, suku Keo adalah sebagai pendatang di wilayah Rongga. Tapi lama kelamaan suku Todo pun merasa terganggu dengan kehadiran suku Keo yang mengklaim wilayah Rongga sebagai daerah kekuasaan suku Keo. Selain itu suku Keo juga tidak berkenan di hadapan adat istiadat Manggarai, akibatnya suku Todo menyerang dan mengusir suku Keo di wilayah Melo, yang membuat suku Keo mulai terdesak.
Ekspansi suku Todo sekitar abad 18, mendapat dukungan dari suku Rongga yang antipati kepada suku Keo. Strategi perkawinan yang dilakukan suku Todo dengan suku Rongga semakin membuka jalan bagi suku Todo melebarkan kekuasaannya di wilayah ini. Dalam kisah lisan yang berkembang di Tanah Rongga, konon, mula-mula suku Todo memberikan gadis bernama Dhari kepada Tuan Tanah yang menguasai wilayah Rongga Barat (Rongga Ma’bha). Setelah perkawinan, terjadi ikatan kekerabatan di antara mereka. Suku Todo menyewa salah satu suku kecil di Rongga Ma’bha, untuk mewujudkan rencana besarnya menaklukkan Komba, Rongga Timur atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rongga Ruju. Strategi ini pun berhasil.
Upaya suku Todo mengembangkan wilayahnya hingga Watu Jaji pun berjalan lancar karena mendapat bantuan dari suku Rongga yang sudah mengenal karakter dan topografi wilayah Ngada. Namun, dalam kisah penaklukan Todo terhadap Ngada hingga Watu Jaji nyaris tak pernah diungkapkan peran dua pahlawan Rongga Nai Pati dan Jawa Tu’u. Dua sosok ini konon menjadi tokoh sentral yang berperan memperkuat pasukan Todo menaklukkan Cibal.
Suku Todo menanamkan pengaruhnya di wilayah Manggarai dengan membentuk pemerintahan kedaluan yang kemudian berlanjut dengan UU NO. 5/ 1979 tentang Pemerintahan Desa membuat pemerintahan adat di wilayah Manggarai tergeser. Perubahan itu ternyata diikuti dengan proses penaklukan budaya ke wilayah Rongga. Setidaknya hal itu tampak terasa dalam beberapa ikon budaya Rongga yang terancam punah, seperti pakaian adat Rongga, aksen penyebutan nama beberapa tempat yang berubah, seperti Mboro menjadi Borong, Tanah Rongga menjadi Golo Mongkok dan lain-lain. Hampir selama 100 tahun orang Rongga tak sadar kehilangan identitas budayanya di bawah dominasi suku Todo.
Tulisan tentang suku Rongga sangat sedikit bisa didapat di
beberapa media, Suku yang mendiami wilayah Selatan Manggarai Timur ini,
di samping unik dari sisi bahasa, juga memiliki sejarah kebesaran
peradabannya tersendiri. Wilayahnya tidak saja mencakup Kisol dan
Waelengga, tetapi meliputi sebagian dari luas kecamatan kota Komba dan
kecamatan Borong. Wilayah kedaualatan suku ini di sebelah Timur
berbatasan dengan Wae Mokel dan di bagian barat berbatasan dengan Wae
Musur (Sita). Sementara di utara berbatasan dengan suku Mendang Riwu,
Suku Manus dan Suku Gunung.
Suku Rongga menganut sistem kekerabatan patrilineal. Warisan
dan nama keluarga, jatuh menurut garis laki-laki, dilakukan oleh sang
ayah (kalau masih hidup), atau oleh anak tertua (jika ayah sudah
meninggal). Poligami bagi masyarakat Rongga, dahulunya dibolehkan, tapi
sejak kedatangan Agama Kristen Katolik memberi hal positif bagi
masyarakat suku Rongga, dan praktek poligami semakin ditinggalkan.
Karena dianggap tidak baik bagi masyarakat suku Rongga.
Baca Juga:
Sejarah Suku Toe dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )
Proses perkawinan dalam adat Rongga bisa merupakan proses
yang panjang, dimulai dari pinangan oleh pihak laki-laki ke pihak
perempuan, yang berlangsung lama dalam perundingan untuk mendapatkan
kesepakatan atas besarnya belis (mas kawin) yang harus diserahkan oleh keluarga laki-aki.
Pada saat orang Rongga meninggal, dilaksanakan upacara Sedhu Mbizha Ndoa Ngembo. Upacara ini diisi dengan Nggore Nggote (pukul gendang), membunyikan meriam bambu, Teka Tana (potong hewan untuk penggalian kubur), pertunjukan Mbata dan Vera (nyanyian dan tarian tradisional), Paka Zhi'a (acara 4 malam berturut-turut), dan setelah setahun, diadakan upacara Toko Lulu Huki. Makam biasanya dikuburkan di halaman depan rumah sebelah kanan.
Tari Vera |
Dalam masyarakat suku Rongga terdapat suatu tradisi budaya yang populer
di kalangan masyarakat Manggarai, yaitu Tari Vera. Tarian ini merupakan
suatu tarian yang dianggap utama bagi masyarakat suku Rongga. Tari Vera
ini sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh suku Rongga saja, tapi juga
dimiliki oleh seluruh suku-suku lain yang merupakan bagian dari suku
Rongga yang tersebar di wilayah Manggarai Timur.
Masyarakat suku Rongga dalam kegiatan sehari-hari sebagian
besar bercocoktanam di kebun (Uma) atau ladang. Mereka menanam berbagai
jenis tanaman untuk kebutuhan hidup keluarga mereka. Selain itu mereka
juga memelihara beberapa hewan ternak untuk menambah penghasilan atau
untuk mendapatkan unsur hewani bagi keluarga mereka. Setelah kegiatan di
kebun selesai mereka kembali ke kampung (Nua) dan beraktifitas di rumah
(Sa'o).
Baca Juga:
Suku Ende dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )
Search Populer:
- daftar nama nama suku di indonesia
- macam-macam suku bangsa di indonesia dan penjelasannya
- suku suku di indonesia dan asalnya
- suku di indonesia berdasarkan provinsi
- macam macam suku di indonesia dan penjelasannya
- macam macam suku bangsa dan uraiannya
- suku bangsa di indonesia beserta gambarnya
- suku bangsa dan ciri khasnya
0 Response to "Suku Rongga dari Nusa Tenggara Timur ( Artikel Lengkap )"