Sisingaan, Kesenian Tradisional Subang Jawa Barat
Sisingaan, Kesenian Tradisional Subang Jawa Barat | Adatnusantara - Sisingaan adalah
merupakan kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Subang,
Provinsi Jawa Barat. Kesenian Sisingaan menampilkan 2 patung singa yang
masing-masing digotong oleh 4 orang penari dengan diiringi oleh alunan
dari alat musik tradisional Jawa Barat.
Biasanya diatas patung sisingaan yang digotong oleh 4 orang penari, duduk seorang anak yang akan dikhitan atau seorang tokoh yang diarak dengan menggunakan kesenian sisingaan. Kesenian ini masih terus berkembang di Jawa Barat, bahkan beberapa daerah memiliki kesenian yang mirip dengan kesenian sisingaan dari Subang, diantaranya Gotong Buroq dari Cirebon serta Gotong Domba dari Garut dan Sumedang.
Pada kesempatan ini TradisiKita akan mengupas Sisingaan yang merupakan kesenian tradisional Khas Subang Jawa Barat.
Sejarah asal usul Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Kabupaten Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden).
Pada saat Subang di bawah kekuasaan Belanda, masyarakat setempat mulai diperkenalkan dengan lambang negara Belanda yakni crown
atau mahkota kerajaan. Dalam waktu yang bersamaan daerah Subang juga di
bawah kekuasaan Inggris, yang memperkenalkan lambang negaranya yakni singa.
Sehingga secara administratif daerah Subang terbagi dalam dua bagian,
yakni secara politis dikuasai oleh Belanda dan secara ekonomi dikuasai
oleh Inggris.
Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna).
Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama sisingaan.
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.
Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh.
Gerakan yang ditampilkan saat pertunjukan sisingaan saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.
Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.
Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.
Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.
Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.
Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.
Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.
Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.
Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik nasional.
Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih.
Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang terjajah atau tertindas. Sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan Inggris. Sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang nantinya harus mampu mengusir penjajah.
Nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.
Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir, tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat.
Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.
Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.
Kemudian alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Selanjutnya sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).
Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan.
Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan.
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:
Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari.
Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci.
Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri.
Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian.
Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala.
Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan tendangan.
Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.
Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik. Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.
Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal. Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.
Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat. Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang.
Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos.
Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.
Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif.
Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.
Pada awal mula munculnya kesenian Sisingaan Waditra / musik pengiring yang digunakan sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro), namun kemudian berkembang seperti saat ini.
Adapun peralatan musik pengiring kesenian sisingaan tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
Selain musik tradisional Jawa Barat yang mengiringi sisingaan juga dinyanyikan lagu-lagu pada masa itu antara lain lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.
Selanjutnya musik pengiring kesenian sisingaan ini terus berkembang. Sehingga dimasukan unsur waditra atau karawitan, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik.
Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.
Waditra yang dipergunakan antara lain:
Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi yang membawakan lagu daerah Jawa Barat dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen, kulu-kulu sadunya, gondang.
Demikian Sobat Tradisi, Informasi mengenai Sisingaan yang merupakan kesenian tradisional Khas Subang, Jawa Barat. Semoga bermanfaat.
Sumber :
Biasanya diatas patung sisingaan yang digotong oleh 4 orang penari, duduk seorang anak yang akan dikhitan atau seorang tokoh yang diarak dengan menggunakan kesenian sisingaan. Kesenian ini masih terus berkembang di Jawa Barat, bahkan beberapa daerah memiliki kesenian yang mirip dengan kesenian sisingaan dari Subang, diantaranya Gotong Buroq dari Cirebon serta Gotong Domba dari Garut dan Sumedang.
Pada kesempatan ini TradisiKita akan mengupas Sisingaan yang merupakan kesenian tradisional Khas Subang Jawa Barat.
Sisingaan, Kesenian Tradisional Subang Jawa Barat
Kesenian Sisingaan | static.ucontest.info |
1. Sejarah Sisingaan
Sejarah asal usul Sisingaan mulai muncul pada saat kaum penjajah menguasai Subang, yakni pada masa pemerintahan Belanda tahun 1812. Kabupaten Subang pada saat itu dikenal dengan Doble Bestuur, dan dijadikan kawasan perkebunan di bawah perusahaan P & T Lands (Pamanoekan en Tjiasemlanden).
Masyarakat Subang saat itu mendapatkan tekanan secara politis, ekonomis, sosial, dan budaya dari pihak Belanda maupun Inggris. Namun masyarakat tidak tinggal diam, mereka melakukan perlawanan, perlawanan tersebut tidak hanya berupa perlawanan fisik, namun juga perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk kesenian. Bentuk kesenian tersebut mengandung silib (yakni pembicaraan yang tidak langsung pada maksud dan tujuan), sindir (ironi atau sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan), siloka (kiasan atau melambangkan), sasmita (contoh cerita yang mengandung arti atau makna).
Dengan demikian masyarakat Subang bisa mengekspresikan atau mewujudkan perasaan mereka secara terselubung, melalui sindiran, perumpamaan yang terjadi atau yang menjadi kenyataan pada saat itu. Salah satu perwujudan atau bentuk ekspresi masyarakat Subang, dengan menciptakan salah satu bentuk kesenian yang kemudian dikenal dengan nama sisingaan.
Sisingaan Tempo Dulu | ilove-subang.blogspot.com |
Kesenian sisingaan merupakan bentuk ungkapan rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, atau upaya pemberontakan dari masyarakat Subang kepada pihak penjajah. Perwujudan dari rasa ketidaksenangan tersebut digambarkan dalam bentuk sepasang sisingaan, yaitu melambangkan kaum penjajah Belanda dan Inggris. Kedua Negara penjajah tersebut menindas masyarakat Subang, yang dianggap bodoh dan dalam kondisi miskin, sehingga para seniman berharap suatu saat nanti generasi muda harus bisa bangkit, mengusir penjajah dari tanah air dan masyarakat bisa menikmati kehidupan yang sejahtera.
Pengusung sisingaan biasanya dari warga masyarakat, karena pada saat itu belum terbentuk kelompok atau grup kesenian sisingaan, diantara mereka masih saling meminjam sisingaan. Gerakannya pun masih sangat sederhana dan dilakukan secara spontan, namun tidak menghilangkan gerakan yang mengandung makna heroik, atau gerak yang melambangkan keberanian dalam menghadapi musuh.
Gerakan yang ditampilkan saat pertunjukan sisingaan saat itu adalah tendangan, lompatan, mincid, dan dorong sapi. Sedangkan busana atau pakaian yang dikenakan oleh pengusung sisingaan pada saat itu hanya mengenakan kampret, pangsi, iket seperti masyarakat umumnya. Sedangkan kalau yang hajatan dari masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, busana yang dikenakan antara lain baju takwa, sinjang lancar, iket. Kemudian pada sekitar tahun 1960 an, busana pengusung sisingaan mulai mengalami perkembangan dan penyesuaian, seperti perubahan warna yang mencolok dan bahan pakaian yang cukup baik.
Busana-busana yang mengalami perkembangan dan bervariasi dapat dilihat dari yang dikenakan oleh para penari yang ikut dalam meramaikan pertunjukan, bahkan penonton yang tertarik dapat ikut menari di depan sisingaan secara spontan. Baik yang yang ikut dari awal atau saat sisingaan melewati tempat mereka atau kampong mereka. Sehingga kesenian sisingaan bisa dikatakan sebagai kesenian tradisional, kesenian rakyat yang bersifat terbuka, umum, dan spontan.
Pada bulan Juli tahun 1968 kesenian sisingaan mulai dimasukkan unsure ketuk tilu dan silat. Hal ini dapat dilihat dari penggabungan atau kerjasama waditra yakni adanya tambahan dua buah gendang besar (gendang indung), terompet, tiga buah ketuk, dan sebuah kulanter (gendang kecil), bende (gong kecil), serta kecrek. Patung sisingaan pun mulai ada perubahan yang cukup besar dan mendasar.
Untuk mengetahui perkembangan sisingaan ada beberapa bukti pergelaran pada masa lalu antara lain, pada awal terbentuknya sisingaan sering ditampilkan pada saat upacara peringatan hari ulang tahun P & T Lands. Sehingga kesenian ini semakin dikenal luas, meskipun belum terbentuk kelompok resmi kesenian sisingaan.
Penyambutan Gubernur Jenderal Belanda di Perkebunan Kasomalang |
Pada masa setelah kemerdekaan, pada masa orde baru, seniman sisingaan mulai mengangkat atau menggali nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kesenian sisingaan, seiring dengan kreativitas seniman dalam menuangkan inspirasinya. Kemudian mulai bermunculan kelompok-kelompok kesenian sisingaan baru dengan kreasi-kreasi baru, namun demikian tetap masih ada koreografer-koreografer tradisional yang masih mendasarkan pada naluri atau tradisi dalam menggarap kesenian sisingaan.
Penyebutan sisingaan kadang-kadang berbeda di setiap daerah/wilayah, hal ini disesuaikan dengan yang mereka lihat dan mereka dengar. Kawasan Subang utara menyebut sisingaan dengan istilah pergosi atau Persatuan Gotong Sisingaan. Kemudian daerah lain menyebut sisingaan dengan istilah odong-odong, citot, kuda depok, kuda ungkleuk, kukudaan, kuda singa, singa depok.
Atas prakarsa para seniman sisingaan maka pada tanggal 5 Januari tahun 1988, diselenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.
Kesenian sisingaan mulai diperkenalkan ke tingkat nasional pada saat penyambutan kedatangan Presiden Soeharto, pada saat hari Krida Tani tahun 1968 di Balanakan. Semenjak saat itu sisingaan mulai ditetapkan, difungsikan sebagai kesenian untuk menyambut tamu terhormat/tamu kehormatan. Untuk mengangkat kesenian sisingaan Subang, para seniman mengubah sisingaan dari bentuk helaran ke bentuk pergelaran arena.
Even lain yang semakin memunculkan sisingaan yakni saat tahun 1971 saat penyelenggaraan Jakarta Fair, kesenian ini dipentaskan di panggung kesenian acara tersebut. Kemudian pada tahun 1972 dipentaskan di Istana Bogor, pada tahun 1973 dipentaskan di Istana Negara, tahun 1981 menjadi duta seni Indonesia di Hongkong dan menjadi juara pertama. Pada tahun 1991 sisingaan diminta oleh panitia terjun paying internasional untuk mengadakan pergelaran di Jakarta. Kemudian pemerintah daerah secara rutin menyelenggarakan festivial sisingaan setiap tahun, sehingga saat ini kesenian sisingaan tidak hanya menjadi milik masyarakat Subang, namun sudah menjadi milik nasional.
2. Fungsi dan Makna yang Terkandung dalam Kesenian Sisingaan
Kesenian sisingaan secara garis besarnya terdiri dari 4 orang pengusung sisingaan sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih.
Secara filosofis 4 orang pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi yang terjajah atau tertindas. Sepasang patung sisingaan melambangkan kedua penjajah yakni Belanda dan Inggris. Sedangkan penunggang sisingaan melambangkan generasi muda yang nantinya harus mampu mengusir penjajah.
Nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi/semangat kepada generasi muda untuk dapat mengalahkan serta mengusir penjajah dari daerah mereka.
Kesenian sisingaan yang diciptakan oleh para seniman pada saat itu, sangat tepat dan jitu menggunakan sisingaan sebagai sarana/perwujudan/alat perjuangan, dalam melepaskan diri dari tekanan kaum penjajah. Sementara itu pihak kaum penjajah tidak merasa disindir, tidak terusik, akan tetapi malah merasa bangga melihat kesenian sisingaan, karena lambang negara mereka (singa) dijadikan sebagai bentuk kesenian rakyat.
Pihak penjajah hanya memahami bahwa kesenian sisingaan merupakan karya seni hasil kreativitas masyarakat secara spontan, sangat sederhana untuk sarana hiburan pada saat ada hajatan khitanan anak. Padahal maksud masyarakat Subang tidaklah demikian, dengan menggunakan lambang kebesaran Negara mereka, kemudian ada seorang anak yang naik di atasnya dengan menjambak rambut sisingaan, merupakan salah bentuk ekspresi kebencian kepada kaum penjajah.
3. Perkembangan Sisingaan
Pada awal terbentuknya sisingaan tidak seperti sisingaan pada saat sekarang ini, cikal bakal sisingaan sekarang yakni singa abrug. Disebut dengan singa abrug karena patung singa ini dimainkan dengan cara diusung, dan pengusungnya aktif menari, sedangkan singa abrug tersebut digerakkan ke sana kemari seperti hendak diadu. Singa abrug untuk pertama kalinya berkembang di daerah Tambakan, Kecamatan Jalancagak.Pada zaman dahulu sisingaan atau singa abrug dibuat dengan sangat sederhana, bagian muka atau kepala sisingaan terbuat dari kayu yang ringan seperti kayu randu atau albasia, rambut terbuat dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Sedangkan badan sisingaan terbuat dari carangka (keranjang atau anyaman bambu) yang besar dan ditutupi dengan karung kadut (karung goni) atau terbuat dari kayu yang masih utuh atau kayu gelondongan. Untuk usungan sisingaan terbuat dari bambu untuk bisa dipikul oleh 4 orang. Proses pembuatan sisingaan biasanya dilakuakan secara bersama-sama, secara gotong royong oleh masyarakat.
4. Pertunjukan Sisingaan
Pada umumnya pertunjukan sisingaan diawali dengan kata-kata sambutan yang dilakukan oleh pemimpin kelompok. Setelah pemimpin kelompok memberikan kata sambutan, barulah anak yang akan dikhitan atau tokoh masyarakat yang akan diarak dipersilahkan untuk menaiki boneka singa.Kemudian alat pengiring ditabuh dengan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis sebagai tanda dimulainya pertunjukan. Selanjutnya sejumlah 8 orang pemain akan mulai menggotong dua buah boneka singa (satu boneka digotong oleh 4 orang).
Setelah para penggotong boneka singa siap, maka sang pemimpin akan mulai memberikan aba-aba agar mereka mulai melakukan gerakan-gerakan tarian secara serempak dan bersamaan. Para penggotong boneka itu segera melakukan gerakan-gerakan akrobatis yang cukup mendebarkan.
Gerakan-gerakan tarian yang biasa dimainkan oleh para penggotong boneka singa tersebut adalah: igeul ngayun glempang, pasang/kuda-kuda, mincid, padungdung, gugulingan, bangkaret, masang, sepakan dua, langkah mundur, kael, ewag, jeblang, depok, solor, sesenggehan, genying, putar taktak, nanggeuy singa, angkat jungjung, ngolecer, lambang, pasagi tilu, melek cau, nincak rancatan, dan kakapalan.
5. Unsur Seni Tari dalam Sisingaan
Pengusung sisingaan harus memiliki kekompakan, keseragaman gerak, dan keluwesan dalam menari untuk memberikan tampilan keindahan yang menarik. Unsur tari sisingaan terdiri dari tiga bagian yakni:
1. Naekeun
Naekeun yakni gerak tari yang pertama kali dilakukan untuk mengangkat anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Gerak tari naekeun terdiri dari beberapa gerakan antara lain, pasang yaitu bersiap dan memasang kuda-kuda pada saat sisingaan berada di pundak.Gobyog, yakni gerakan naik turun sisingaan kemudian berlari.
Najong, yaitu melakukan tendangan kaki dan meletakkan sisingaan. Silat tepak tilu, yaitu melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci.
Depok tungkul, yakni menaikkan anak yang dikhitan ke atas sisingaan. Kidung yakni melagukan kidung yang diikuti dengan tarian, menendang, dan memiringkan badan ke kanan dan ke kiri.
Ewag, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tarian.
Mincid, yakni gerakan memindahkan usungan sisingaan dari pundak sambil memutarkan kepala.
Solor, yakni melakukan gerakan maju mundur, yang diakhiri dengan gerakan tendangan.
Mincid badag, yakni gerakan atau tarian dengan diikuti suara gendang yang lebih keras dan sambil melakukan tendangan.
2. Helaran
Helaran yaitu pergelaran/pagelaran yang dilakukan dengan cara berkeliling, atau sesuai dengan rute jalan yang telah ditentukan. Dalam kesenian sisingaan, helaran merupakan salah satu unsur yang harus dilaksanakan, karena hal ini telah menjadi ketentuan. Pada saat helaran para pengusung melakukan gerakan tari dengan menjaga kekompakan, saling memperhatikan gerakan satu pengusung dengan pengusung lainnya.Gerak tari yang dilakukan dalam helaran antara lain: mincid yaitu melakukan gerakan seperti berlari kecil dan diiringi dengan musik. Mincid terbagi dua yakni mincid badag (mengangkat kaki lebih tinggi dengan irama musik keras), mincid sedeng (gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang). Najong, yakni gerakan menendangkan kaki ke depan, ke samping sesuai dengan irama gendang. Gopar/bangkaret, yakni gerakan menendang tapi ditarik kembali sebatas lutut. Meresan, yakni berjalan kecil-kecil sesuai dengan irama musik. Mars/incek, yakni berjalan kecil-kecil seiring irama yang cepat tapi halus.
Ewag, yakni gerak tari yang diikuti oleh lagu kangsreng. Gerak jaipong, yakni gerakan yang divariasikan dengan tarian jaipong di awal. Solor, yakni gerakan yang dilakukan dengan lari, lalu menghentakkan kaki ke tanah (nenjrag). Mincid badag/mincid ngabrag, gerakan untuk lebih mempercepat helaran dengan menghentakkan kaki ke tanah.
3. Atraksi/demonstrasi
Atraksi atau Demonstrasi merupakan variasi gerak dan tari pada sisingaan yang dilakukan untuk lebih menyemarakkan dan mempunyai daya tarik. Dengan demikian penonton semakin takjub, terpukau melihat penampilan ini. Gerak dan tari yang ditampilkan dalam atraksi/demonstrasi antara lain: bubuka gebrag, yakni membuka gerakan dengan cara meloncat dan menggebrak sambil mengangkat sisingaan. Gobyog, yakni gerak naik turun sisingaan, kemudian berlari.Najong, yakni menendangkan kaki ke depan dan ke samping, sesuai dengan irama gendang. Silat tepak tilu, yakni melakukan gerakan silat menangkis, menendang, memukul, dan mengunci. Kidung depok, yakni gerak tari yang diakhiri dengan berlutut, dengan irama yang lambat. Cisanggean, yakni gerakan penghubung antar atraksi. Ewag/ewag depok, yakni menyanyikan lagu kidung yang diikuti dengan gerak tari. Ewag luhur, yakni menyanyikan lagu kangsreng yang diikuti dengan gerak tari dan sisingaan diangkat. Mincid sedeng, yakni gerakan kaki ringan dan irama musik bertempo sedang.
Mincid variasi, yakni gerakan memindahkan sisingaan untuk berpindah pundak. Mincid solor, yakni gerakan yang dilakukan setelah ewag dalam lagu kangsreng dan lagu polos.
Gondang, yakni gerakan mundur perlahan-lahan lalu menggebrak dan menyerang sambil meloncat, kemudian telungkup.
Bukaan jaipong, yakni memadukan tari jaipong dengan gerak tari sisingaan, sehingga terlihat lebih variatif dan atraktif.
Geblag/gendut, yakni gerakan terakhir dari mincid tari jaipong sebelum masuk ke atraksi. Atraksi, beberapa atraksi yang sering ditampilkan dalam sisingaan antara lain oray-orayan, gugunungan, melak cau, dan sebagainya.
6. Musik Pengiring Kesenian Sisingaan
Pada awal mula munculnya kesenian Sisingaan Waditra / musik pengiring yang digunakan sangat sederhana, hanya memakai beberapa alat musik saja (seperti beberapa angklung pentatonis berlaras salendro), namun kemudian berkembang seperti saat ini.
Adapun peralatan musik pengiring kesenian sisingaan tersebut antara lain:
- 2 buah angklung galimer
- 2 buah angklung indung
- 2 buah angklung pancer
- 2 buah angklung rael
- 2 buah angklung ambrug
- 1 buah angklung engklok
- 1 buah terompet
- 2 buah dogdog lonjor
- 1 buah bedug
- 3 buah terbang
Selain musik tradisional Jawa Barat yang mengiringi sisingaan juga dinyanyikan lagu-lagu pada masa itu antara lain lagu badud samping butut, manuk hideung, sireum beureum, dan lain-lain. Sedangkan untuk lagu pembuka biasanya menampilkan lagu tunggul kawung. Apabila yang mempunyai adalah tokoh agama/ulama, maka lagu yang disajikan biasanya lagu yang bernuansa Islami atau shalawat nabi.
Selanjutnya musik pengiring kesenian sisingaan ini terus berkembang. Sehingga dimasukan unsur waditra atau karawitan, hal ini karena adanya pengaruh serta kreativitas seniman dalam memainkan alat musik.
Waditra sangat berpengaruh dan menjadi unsur yang sangat penting pada saat helaran/pagelaran/pementasan, sehingga menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Pengembangan waditra tidak mengubah ciri khas dalam karawitan sisingaan, karena para seniman masih berpegang pada tradisi dan aturan-aturan (tetekon) sisingaan.
Waditra yang dipergunakan antara lain:
- Satu buah gendang indung yang berfungsi untuk memberikan tekanan irama musik.
- Satu buah gendang kemprang yang berfungsi untuk mengatur irama musik.
- Dua buah kulanter yang berfungsi untuk mengatur tempo dan satu lagi dipukul diakhir kenongan.
- Satu buah goong yang berfungsi untuk mengakhiri wiletan.
- Satu buah kempul yang berfungsi untuk mengisi irama.
- Tiga buah bonang atau ketuk yang berfungsi untuk mengisi ketukan.
- Satu buah terompet yang berfungsi sebagai melodi dan mewakili lagu.
- Satu buah kecrek berfungsi untuk mempertegas tekanan irama.
Dengan waditra atau karawitan tersebut, maka sisingaan bisa memainkan musik penca dan jaipong. Sehingga kedua jenis musik tadi dijadikan standar kesenian sisingaan. Juru kawih atau sinden merupakan penyanyi yang membawakan lagu daerah Jawa Barat dalam sisingaan. Juru kawih biasanya seorang perempuan yang memiliki suara merdu. Sedangkan lagu-lagu yang dibawakan antara lain: kesenian sisingaan,awi ngarambat, kembang beureum, buah kawung, arang-arang, siuh, senggot, sinur, tumbila diadu boksen, kulu-kulu sadunya, gondang.
7. Video Sisingaan Subang Masa Kini
Demikian Sobat Tradisi, Informasi mengenai Sisingaan yang merupakan kesenian tradisional Khas Subang, Jawa Barat. Semoga bermanfaat.
Sumber :
- BPSNT Bandung
- http://kacabumi.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-kesenian-sisingaan-asal-subang.html
- ilove-subang.blogspot.com
0 Response to "Sisingaan, Kesenian Tradisional Subang Jawa Barat"