Budaya Nusantara Wayang Bharatayudha | Daftar Budaya Nusantara
Persiapan perang
dimatangkan. Para sekutu dari kedua belah pihak telah berdatangan dan
berkumpul. Strategi perang dipersiapkan. Pandawa membentuk 7 divisi dan
Kurawa memiliki 11 divisi. Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah
pihak bertemu dan membuat peraturan-peraturan perang yang harus ditaati.
Peraturan-peraturan yang berhasil dirumuskan diantaranya adalah
1. Pertempuran dimulai setelah matahari terbit dan selesai saat matahari terbenam.
2. Pertempuran satu lawan satu.
3. Tidak boleh membunuh prajurit yang menyerahkan diri.
4. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak bersenjata.
5. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang dalam keadaan tidak sadar.
6. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit yang tidak ikut berperang.
7. Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit dari belakang.
Meskipun aturan telah dibuat, tidak jarang kedua pihak melanggarnya. Semua dilakukan demi mendapatkan kemenangan.
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Portugis
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Inggris
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Belanda
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Jepang
- Sejarah Perang Maluku (1817)
- Sejarah Perang Palembang (1821)
- Sejarah Perang Padri (1821 - 1837)
- Sejarah Perang Diponegoro (1825-1830)
- Sejarah Perang Bali (1846-1849)
- Sejarah Perang Banjar (1859 - 1905)
- Sejarah Perang Aceh (1873-1904)
- Era Kebangkitan Nasional Boedi Oetomo
- Era Kebangkitan Nasional Sumpah Pemoeda
Daftar Budaya Nusantara
- Budaya Nusantara Wayang Ramayana
- Budaya Nusantara Wayang Mahabrata
- Budaya Nusantara Wayang Bharatayudha
Hari pertama pertempuran segera dimulai. Kurawa telah
menetapkan Resi Bhisma sebagai panglima tertinggi didampingi oleh
Pandita Dorna dan Prabu Salya. Sedangkan, Pandawa akan dipimpin oleh
Resi Seta yang didampingi kedua adiknya Raden Utara dan Raden Arya
Wratsangka. Para prajurit dan ksatria pilihan dari kedua pihak telah
saling berhadapan di padang luas Kurusetra. Sekilas nampak sang Arjuna
berdiri termangu, menatap ragu atas pandangan di depan matanya. Lunglai
sekujur tubuhnya merasakan bahwa yang akan dia hadapi adalah saudara
sendiri serta orang-orang yang selama ini dia hormati dan
agung-agungkan. Sri Kresna tanggap waspada dengan keraguan yang menimpa
Arjuna, didekatinya panengah Pandawa tersebut dan terjadilah percakapan
antara keduanya. Banyak nasihat dan wejangan yang diberikan oleh Sri
Kresna terhadap Arjuna(dikisahkan dalam Bhagawad Gita). Setelah menerima
nasihat dan wejangan dari Sri Kresna, Arjuna nampak kuat dan tidak ragu
lagi menghadapi pertempuran.
Sementara itu, pertempuran
telah berlangsung dengan sengit. Denting suara pedang beradu, teriakan
kesakitan dari para prajurit memekakkan telinga. Pertempuran sengit
terjadi antara Resi Bhisma melawan Resi Seta. Adu kesaktian antara
keduanya berlangsung seimbang. Tidak ada prajurit yang berani mendekat
akibat hawa panas yang dihasilkan dari pertarungan keduanya.
Ditempat
lain, Resi Dorna menghadapi pangeran dari Wirata, Arya Wratsangka.
Meski berbeda usia, Dorna yang kenyang pengalaman mampu mengatasi
perlawanan anak muda Wirata. Dorna terus merangsek dan mendesak Arya
Wratsangka. Dan ketika matahari mulai diatas kepala, Dorna menyudahi
perlawanan Wratsangka dengan pusaka Cundamanik miliknya. “Wratsangka
gugur…”teriak para prajurit Kurawa untuk membangkitkan semangat
temannya. Mendengar teriakan tersebut, Raden Utara yang sedang bertempur
melawan Prabu Salya mengamuk. Sabetan gada milik Utara meremukkan
kereta Prabu Salya. Kuda beserta kusirnya, Patih Mandaraka Tuhayata ikut
tewas tertebas gada Raden Utara. Arya Rukmarata berusaha melindungi
ayahnya, Prabu Salya, dari gempuran Raden Utara. Tapi ini tidak
berlangsung lama, Rukmarata tewas terkena panah Resi Seta yang
menghindari peperangan melawan Bhisma.
Melihat putranya tewas,
Prabu Salya marah. Dirapalnya ajian Candrabirawa pemberian Resi
Bagaspati, sang mertua. Nampak raksasa bajang keluar dari tubuh Prabu
Salya dan menyerang Utara. Raden Utara menebaskan gadanya, bukannya
mati, raksasa itu malah berlipat ganda ketika ada bagian tubuh yang
terluka akibat gada Utara. Jumlahnya semakin banyak, membuat Raden Utara
kewalahan. Ketika lengah, Prabu Salya segera melepaskan panah Kyai
Candrapati ke dada Utara. Raden Utara gugur.
Senja menjelang, dan
hari pertama pertempuran berakhir ketika sangkakala dibunyikan. Padang
Kurusetra penuh dengan bangkai prajurit dan bangkai binatang yang
terkapar tak bernyawa. Para Kurawa bersorak dengan kemenangan yang
mereka raih hari itu.
Malam beranjak larut ketika api pancaka
yang membakar tubuh Arya Wratsangka dan Raden Utara mulai padam. Nampak
para ksatria Pandawa sedang bersedih menyaksikan tubuh kedua pahlawannya
habis terbakar api. Disudut yang lain, Resi Seta sedang termenung
dengan dendam yang membara untuk menuntut balas atas kematian kedua
adiknya.
Surya perlahan menampakkan sinarnya, tanda hari baru
telah menjelang. Para prajurit nampak telah siap tempur. Pihak Kurawa
menempatkan Gardapati dan Wresaya sebagai pemimpin digaris depan
menggantikan Prabu Salya dan Resi Dorna. Sementara, dipihak Pandawa
telah bersiap Bima dan Arjuna menggantikan Utara dan Wratsangka.
Resi
Seta mengamuk, menghujani para prajurit Kurawa dengan panahnya. Dengan
dendam yang terus terpelihara, Seta melepaskan anak panah sambil matanya
mencari keberadaan Salya. Ketika terlihat, direntangnya busur dan anak
panah menuju Salya, tapi sayang, anak panahnya hanya menyambar kereta
perang Salya dan menjadi remuk. Melihat itu, Bhisma segera melepaskan
panah ke Resi Seta, tapi tidak mempan. Seta semakin mengamuk, kali ini
Dorna yang jadi sasaran. Mengetahui gurunya dalam bahaya, Duryudana
segera menolong. Ditariknya Resi Dorna sehingga anak panah yang
dilepaskan Seta mengenai Duryudana. Meski tidak terluka, tapi Duryudana
mundur sambil meringis kesakitan. Salya dan Dorna kemudian dijauhkan
dari medan pertempuran. Kembali Bhisma menghadapi Seta dengan segala
amarahnya. Pertempuran berlangsung sengit dan seimbang.
Pertempuran
berhenti karena matahari telah meredup. Keesokan hari, pertempuran
dimulai kembali. Di hari ketiga, pertempuran antara Bhisma dan Seta
kembali terjadi. HIngga akhirnya Seta dapat mendesak Bhisma, hingga sang
Resi terjatuh kedalam jurang. Resi Seta menunggu kemunculan Bhisma
dibibir jurang tapi setelah sekian lama, Bhisma tak kunjung muncul.
Dikisahkan, didasar jurang, Bhisma ternyata tidak tewas. Samar terdengar
olehnya, suara perempuan. Dalam gaib, perempuan itu berkata bahwa
dialah ibunya, Dewi Gangga. Singkat cerita, Bhisma dianugerahi pusaka
sakti, panah Cucuk Dandang oleh Dewi Gangga. Seketika itu pula Bhisma
sudah berada diatas jurang dan kembali ke medan pertempuran. Nampak
olehnya Seta yang mengamuk dan menghabisi prajurit-prajurit Kurawa.
Tanpa membuang waktu, dipanggilnya Seta untuk bertempur kembali
dengannya. Resi Seta tampak terkejut dengan kemunculan Resi Bhisma.
Bhisma segera merentang busur panahnya, kali ini anak panah Cucuk
Dandang menjadi andalannya. Anak panah berbentuk paruh gagak hitam itu
melesat dengan cepat menghujam dada sang Resi. Menggelegar tubuh sang
Resi terkena anak panah, darah muncrat dari dada sang ksatria. Sorak
sorai para Kurawa memecah kebisingan. Dursasana, Kartamarma, Durmagati,
Sudirga, Sudira dan yang lain bersorak kegirangan seakan kemenangan
sudah didepan mata. Sementara, para ksatria Pandawa mendekati Resi Seta
yang sedang sekarat. Arjuna dengan lembut memangku kepala Resi Seta.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, Resi Seta berkata,”Cucuku Pandawa,
telah tuntas perjuanganku, teruslah berjuang karena kebenaran ada
dipihakmu….” Resi Bhisma mendekat dan mohon maaf kepada Resi Seta dan
para Pandawa. Tapi inilah pertarungan, selalu ada yang menang dan ada
yang kalah. Rakyat Wirata dan Prabu Matswapati tak dapat membedung duka.
Mereka telah kehilangan tiga orang putra terbaiknya, Resi Seta, Raden
Utara dan Raden Arya Wratsangka.
Malam tiba, para Pandawa dan
Prabu Matswapati berkumpul member penghormatan terakhir kepada Resi
Seta. Ditempat lain, para Kurawa berkumpul di pesanggrahan Bulupitu.
Nampak kegembiraan terpancar dari wajah mereka. Gugurnya panglima
Pandawa semakin menebalkan harapan akan hadirnya satu kemenangan.
Hari-hari berikutnya menjadi hari yang tak kalah mencekam di tegal
Kurusetra. Setiap malam mengundang, ribuan burung bangkai dan lolongan
serigala membuat merinding sekujur tubuh. Tak henti mereka berpesta
dengan ribuan tubuh tak bernyawa.
Bhisma Gugur
Hari baru telah tiba, Kurawa
telah menyiapkan tiga panglimanya, Resi Bhisma, Prabu Salya dan Resi Dorna.
Dipihak Pandawa, Sri Kresna telah menyiapkan Drestajumna, putra Prabu Drupada
sebagai senapati utama, dibantu Bima dan Arjuna. Sri Kresna juga telah
menyiapkan Wara Srikandi di barisan tengah. Kakak Drestajumna ini sengaja
disiapkan untuk menghadapi sang Dewabrata(Bhisma). Sesuai dengan kutukan Dewi
Amba pada Dewabrata, bahwa kelak kau akan menemui ajal ditangan seorang wanita.
Pertempuran besar berkobar
dengan sengit. Arjuna menghujani para prajurit Kurawa dengan panah-panahnya.
Bima mengamuk dengan gada Rujak Polonya, dibantu Raden Setyaki dengan gada Wesi
Kuningnya memporak porandakan formasi Garuda yang dibentuk prajurit Astina. Tak
terhitung jumlah korban amukan Bima dan Setyaki. Duryudana geram melihat
adik-adiknya, Citrawarman, Durmuka, Kanabayu, Subahu, Jayawikatha dan lainnya
menjadi korban amukan kedua satria Amarta tersebut. Bubarlah sayap kiri Astina
yang dikomandoi Prabu Salya, Resi Krepa, Kartamarma, Jayadrata dan Adipati
Karna ini. Datanglah Resi Bhisma membantu, Sri Kresna tak mau menunda waktu
lagi. Dipanggilnya Dewi Wara Srikandi untuk mendekat. Diutuslah Srikandi maju
kemedan laga untuk menghentikan amukan Bhisma. Srikandi naik ke kereta perang,
sang suami, Arjuna, menjadi kusirnya. Resi Bhisma tersenyum melihat kehadiran
Srikandi dihadapannya. Nampaklah oleh mata batinnya, Dewi Amba telah menyatu
dianak panah Srikandi, Sarotama. “Sudah tiba takdirku untuk bertemu dengan
cinta sejatiku, Dewi Amba,” demikian batin Bhisma. Sang Dewabrata nampak
menutup mata, terbayanglah semua ingatan masa lalu bagaikan gambar yang diputar
ulang, bingkai demi bingkai. Ketika sang Bhisma membuka mata kembali, nampak
Srikandi dengan senyum seperti Dewi Amba telah berada dekat dengannya.
Bhisma
seakan melihat Dewi Amba dihadapannya, ini membuat sang resi menjadi lemah.
Melesat anak panah Sarotama dari busurnya, Resi Bhisma pasrah dengan takdir
yang telah dinantinya. Panah Sarotama menembus dada sang Dewabrata dan menembus
jantungnya. Sang Resi ambruk seketika di padang Kurusetra.
Perang
seketika berhenti, Prabu Duryudana beserta keluarga Kurawa dan juga Prabu
Yudistira beserta keluarga Pandawa berlari menyongsong tubuh sang senapati
utama yang rebah ditanah merah yang basah oleh darah. Sejenak mereka melupakan
permusuhan abadi selama ini. Mereka berkumpul menghadap sesepuh mereka. Dengan
tersengal Bhisma berkata,”Teruskanlah pertempuran ini untuk membuktikan
pendapat siapa yang benar. Kalian berdua ada dijalan masing-masing. “ Mendengar
ucapan itu, kedua raja tersebut segera mendekap Resi Bhisma yang juga merupakan
eyang mereka. “Tolong ambilkan bantal, aku ingin berbaring,” ucap Bhisma.
Duryudana segera menyuruh Dursasana untuk mengambilkan bantal. Segera Dursasana
pergi dan kembali membawa bantal putih bersih. Bhisma nampak kecewa dengan apa yang
dibawa Dursasana sambil berkata,”Bukan itu yang kumau, aku ingin bantal
layaknya seorang ksatria.” Segera Arjuna melompat dan menghujamkan beberapa
anak panah ke tanah agar kepala sang eyang bisa bersandar. “Nah, inilah bantal
ksatria yang ku inginkan,”kata Bhisma. Duryudana nampak kesal setelah
pemberiannya ditolak oleh sang eyang, segera ia memerintahkan adik-adiknya
untuk pergi kembali ke barak masing-masing. Resi Bhisma dengan segala
ketakwaannya memohon kepada Hyang Wenang agar diberi waktu hingga akhir
peperangan. Bhisma ingin melihat kehancuran Kurawa dengan segala perilaku
buruknya. Keinginan ini terpenuhi.
Resi Bhisma Gugur
Setelah selesai, Pandawa
berkumpul di pesanggrahan Randuwatangan untuk menyiapkan strategi perang
esok hari. Para Kurawa tak mau ketinggalan, dipesanggrahan Bulupitu,
Resi Dorna meracik strategi sepeninggal Resi Bhisma. Dorna akan
menggelar strategi Cakrabyuha untuk membongkar strategi Garuda Nglayang
yang diterapkan Pandawa.
Abimanyu Gugur
Abimanyu Gugur
Keesokan
hari, pertempuran kembali dilangsungkan. Dorna, Salya dan Adipati Karna
memimpin dibantu Resi Krepa, Jayadrata, Kartamarma, Aswatama, Bogadenta
dan Dursasana. Di pihak Pandawa ada Drestajumna, Bima dan Arjuna
dibantu pasangan bapak-anak, Raden Gatotkaca dan Raden Sasikirana, Raden
Setyaki dan Raden Sanga-Sanga serta dibantu pula oleh Raden Pancawala,
putra Prabu Yudistira. Pasukan Pandawa mengamuk dan memporak porandakan
pertahanan Kurawa. Mengetahui hal ini, Resi Dorna memerintahkan
Gardapati untuk membawa Bima menyingkir dan bertempur di tempat lain dan
Wresaya membawa Arjuna jauh dari sayap kiri. Sepeninggal kedua sayap
kanan dan kiri ini, pasukan Pandawa melemah, formasi Garuda Nglayang
diobrak abrik dengan Cakrabhuya Astina. Melihat hal ini, Drestajumna
murka dan bingung melihat kedua sayapnya ditinggal pemimpinnya. Dia
kemudian meminta saran dari Sri Kresna, oleh Kresna, Drestajumna diminta
untuk memanggil Abimanyu. Drestajumna meminta bantuan Gatotkaca untuk
memanggil Abimanyu di Plangkawati. Setelah bertemu dan mengutarakan
niatnya, Abimanyu dengan menaiki kudanya Kyai Pramugari berangkat menuju
Kurusetra. Kyai Pramugari melesat kencang membawa sang majikan menuju
medan perang. Dalam sekejab, sampailah dia di depan Sri Kresna.
Berujarlah Sri Kresna kepada Abimanyu,”Anakku, aku minta bantuanmu saat
ini, Pandawa sedang kocar-kacir.” Abimanyu menyanggupi permintaan Kresna
dan menggelar strategi supit urang bersama Drestajumna, Gatotkaca,
Setyaki dan Srikandi. Kresna menatap tak tega melihat Abimanyu pergi
kemedan laga, karena dia tau, inilah pengabdian Abimanyu terakhir kepada
Pandawa.
Perlahan tapi pasti, dengan strategi baru, Pandawa dapat
mengatasi perlawanan Kurawa. Abimanyu mengamuk diatas kudanya
bersenjatakan keris Pulanggeni. Hawa panas yang keluar dari keris itu
menjatuhkan banyak korban. Citraksi, Citradirgantara, Darmayuda,
Durgapati, Surasudirga tewas di tangan Abimanyu. Seandainya Dursasana
tidak melarikan diri, pasti akan jadi korban juga. Kini giliran
Haswaketu dan Prabu Wrahatbala dari Kusala yang akan menjajal kesaktian
Abimanyu. Tak butuh waktu lama, keduanya tewas terkena sabetan keris
Pulanggeni. Dibelakang Abimanyu, Bambang Sumitra yang juga anak Arjuna
semakin bersemangat dalam berperang. Adipati Karna yang melihat hal ini
merasa geram, tetapi perasaan sebagai seorang paman turut menggelayut
dihatinya. Kini dia harus berhadapan dengan keponakan sendiri.
Teriakannya untuk mengusir kedua anak Arjuna tak digubris, maka
melesatlah dua anak panah, Abimanyu dapat menghindar namun tidak bagi
Bambang Sumitra. Gugurlah satu anak Arjuna di Bharatayudha. Disisi lain,
Bambang Wilugangga yang juga anak Arjuna tewas di tangan Prabu Salya.
Abimanyu semakin mengamuk melihat hal ini, kini giliran Mahameya,
Swarcas, Satrujaya dan Suryabasa menjadi korban Abimanyu.
Resi
Dorna kagum dengan kehebatan Abimanyu, untuk mencegah kekalahan yang
lebih besar, Dorna memanggil Sengkuni, Adipati Karna dan Jayadrata untuk
mencari cara mengatasi Abimanyu. Mereka merencanakan strategi licik
yang jauh dari jiwa satria untuk menghentikan Abimanyu. Patih Harya
Suman dari Astina mengibarkan bendera putih tanda menyerah dan semua
prajurit menghentikan pertempurannya. Kemudian Adipati Karna mendekati
Abimanyu kemudian memeluknya. Dari belakang, Jayadrata telah siap dengan
anak panahnya. Abimanyu terduduk dengan darah mengucur dari
punggungnya. Adipati Karna yang tak tega keponakannya terluka segera
menghampiri Dorna dan kembali ke pesanggrahan. Dorna tersenyum melihat
strateginya berhasil sementara Abimanyu marah telah diperlakukan secara
licik. Dia bangun dan kembali menghajar pasukan Kurawa sejadi-jadinya.
Banyak pasukan Kurawa yang menghujamkan panah, tombak dan senjata
lainnya ke tubuh Abimanyu. Tubuhnya bagaikan landak karena dipenuhi anak
panah dan tombak, tapi Abimanyu masih sanggup berperang. Kali ini
didepannya telah berdiri putra mahkota Astinapura, Lesmana Mandrakumara,
si putra manja yang tidak pernah berperang. Abimanyu dengan sisa
tenaganya meladeni serangan Lesmana, dalam satu kesempatan, dengan
tenaga terakhirnya, Abimanyu dapat menusukkan keris Pulanggeni ke tubuh
Lesmana. Ambruklah keduanya di medan perang. Keduanya gugur. Mengetahui
suaminya gugur, Siti Sundari segera menyusul ke medan laga, didepan
jenazah Abimanyu, Siti Sundari melakukan bela pati dengan menusukkan
belati ke dadanya. Kedua suami istri itu bergandengan tangan menghadap
Hyang Wenang.
Sementara Bima dan Arjuna yang bertarung menjauh
dari palagan tidak mengetahui kalau Abimanyu gugur. Gardapati dan
Wresaya memiliki senjata yang apabila ditancapkan ke pasir, akan membuat
pasir itu menyedot musuh untuk amblas kedalamnya. Demikian juga Bima
dan Arjuna, kini tubuh keduanya tenggelam dalam pasir, semakin bergerak,
semakin kencang pasir itu menghisapnya. Bima kemudian merapal ajian
Blabag Pengantol dan dengan sekali hentak dia dapat keluar dari pasir
dan menghujamkan gada Rujak Polonya ke kepala Gardapati. Sekali tebas
kepala Gardapati pecah. Arjuna tidak kurang akal, dibujuknya Wresaya
untuk mendekat, dengan menggunakan tenaga lawan, Arjuna menarik Wresaya
agar dia dapat melompat keluar. Pertempuran kembali terjadi dan Wresaya
tewas terkena sabetan keris Kyai Kalanadah.
Setelah mampu
mengalahkan musuhnya, Bima dan Arjuna pulang ke pesanggrahan dan
mendapati duka yang teramat dalam. Melihat sang putra yang gugur membela
pertiwi dan mendengar kelakuan licik Kurawa, Arjuna murka, kemudian
berteriak dan bersumpah akan membunuh Jayadrata esok hari. Teriakannya
terdengar sampai ke markas Kurawa. Api pancaka telah membakar tubuh
Abimanyu dan Siti Sundari. Seluruh keluarga Pandawa masih terbawa duka
yang mendalam. Suasana tidak jauh berbeda juga terjadi di pesanggrahan
Bulupitu. Duryudana nampak terpukul dengan kematian sang putra mahkota
Lesmana Mandrakumara. Jayadrata juga nampak gelisah mendengar sumpah
Arjuna yang akan membunuhnya esok hari. Para Kurawa merundingkan
strategi untuk membalas kekalahan hari ini. Perundingan berlangsung
panas ketika Resi Krepa menyindir Adipati Karna yang kurang terlibat
banyak pada pertempuran, menurut Krepa, Karna sungkan menghadapi
saudara-saudara Pandawa. Karna yang marah karena sindiran Krepa seketika
mencabut keris Kaladete dan menyambar leher Krepa. Seketika tewaslah
Resi Krepa dengan leher terpisah dari badan. Mengetahui hal ini,
Aswatama, putra Dorna berdiri menuntut bela pati atas meninggalnya sang
paman, Resi Krepa. Aswatama menantang Karna di luar pesanggrahan.
Perkelahian tidak berlanjut ketika Duryudana mengusir Aswatama untuk
keluar dari pesanggrahan.
Sepeninggal Aswatama, Dorna segera
member perintah kepada Setyarata dan Setyawarman untuk menjadi
pendampingnya sebagai senapati esok. Kertipeya diperintahkan untuk
menghadapi Bima dan Bogadenta menghadang laju Arjuna agar tidak
mendekati Jayadrata. Di pihak Pandawa, dengan formasi Garuda Nglayang,
Drestajumna berada di depan, Bima di sayap kanan, Setyaki menggantikan
Arjuna di sisi kiri dan Wara Srikandi berjaga di belakang.
Perang
kembali berlangsung, Pandawa dengan gesit menghancurkan formasi
Cakrabyuha milik Astina. Setyaki mengamuk disisi kiri dengan gada Wesi
Kuningnya. Telah banyak ksatria Kurawa menjadi korban saat itu, Raden
Durcala, Citrabahu, Upamandaka dan Citrawarman, semua tewas dengan
kepala pecah akibat sambaran gada Wesi Kuning. Dibelakang, Srikandi
mampu menyudahi perlawanan Ciringsakti. Dan Gatotkaca menghabisi
Subasta, Suwarman dan Habayuda. Bima dibantu Danurwenda dan Sasikirana
sang cucu, mengamuk disayap kanan. Kertipeya mati dengan kepala pecah
terhantam gada Rujak Polonya. Setyarata dan Setyawarman mengeroyok Bima
untuk menuntut balas. Dengan kesaktian yang melebihi keduanya, dengan
mudah Bima menyudahi pertarungan. Dicengkalnya leher kedua Kurawa
tersebut dan diadu kepalanya hingga pecah. Dorna yang melihat amukan
Bima menjadi khawatir, dia memerintahkan Sengkuni untuk membawa
Jayadrata pulang menemui ayahnya Begawan Sempani. Setelah diceritakan
masalahnya oleh Sengkuni, Begawan Sempani segera mengambil alih, dia
menantang Bima. Dengan kesaktiannya, Begawan Sempani membuat Jayadrata
tiruan untuk menghadapi Bima. Tapi, sekali Bima menebas Jayadrata tiruan
ini maka akan muncul Jayadrata lainnya, hingga berjumlah puluhan
mengeroyok Bima. Bima mundur dengan ribuan tanda tanya besar.
Sementara,
ditempat lain, nampak Arjuna yang masih bersedih berjalan linglung
tanpa tujuan. Arjuna masih menyesali kepergian Abimanyu. Terlebih jika
dia mengingat istri kedua Abimanyu, Utari, sedang hamil tua. Jika dia
tidak pergi jauh dari arena pertempuran, tentu dia dapat menolong
Abimanyu, begitu pikir Arjuna. Dalam kondisi tidak stabil ini, Arjuna
bertemu dengan Raden Wisamuka yang merupakan anak dari Jayadrata dan
Dewi Dursilawati. Dengan cirri fisik yang mirip dengan Abimanyu, Arjuna
menjadi hilang kewarasan. Dipeluknya Wisamuka sambil berkata,”Mari
pulang anakku Abimanyu, Ibu dan istrimu telah lama menunggu.” Wisamuka
berpikir, kapan lagi dia berjasa pada Astina jika tidak sekarang.
Mumpung Arjuna sedang tidak waras, kupenggal saja lehernya dan kubawa ke
tengah Kurusetra. Batara Narada yang terus mengawasi pertempuran,
merasa ada jalan takdir yang akan dirubah oleh Wisamuka, maka Batara
Narada mengutus sukma Abimanyu untuk menyadarkan Arjuna. Sukma Abimanyu
menyapa Arjuna dengan halus, dikatakannya, “Ayah, iklaskan aku, aku
telah bahagia di swargaloka. Didepanmu bukanlah aku, dihadapanmu berdiri
anak uwa Jayadrata. Tuntaskan hutangmu sekarang.” Arjuna kaget dengan
bisikan halus Abimanyu, segera dia sadar dan dia melihat Wisamuka telah
menghunus kerisnya. Dengan sekali kelebat, dijambaknya rambut Wisamuka,
tangannya ditelikung dan dibabat lehernya menggunakan keris pusaka.
Wisamuka tewas. Tak terima junjungannya terbunuh, Patih Sindulaga segera
menyerang Arjuna. Tanpa banyak kata, Arjuna segera melepaskan anak
panah dan menembus jantung Sindulaga. Sang patih tewas menyusul
majikannya. Melihat hal ini, Dewi Dursilawati sedih dan melakukan bela
pati dengan menusukkan belati kecil yang dibawanya ke dada.
Melihat
tubuh ketiganya menjadi mayat, Arjuna kembali bersedih. Perang telah
membawa penderitaan dan membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Dalam
kondisi yang linglung, Arjuna tidak sadar jika Prabu Bogadenta dengan
adik seperguruannya, Dewi Murdaningrum telah mengintai. Menunggang gajah
Murdaningkung, keduanya segera menyerang Arjuna. Arjuna kewalahan dan
keteteran menghadapi Bogadenta, Murdaningrum dan gajah Murdaningkung.
Ketiganya tampak saling mendukung. Dalam keadaan demikian, Sri Kresna
hadir dan membuka mata batin Arjuna agar dapat berkonsentrasi menghadapi
pertempuran. Kresna segera memerintahkan Arjuna untuk mengarahkan tiga
anak panah secara langsung kepada ketiganya. Arjuna segera mematuhi
perintah kakaknya. Melesat tiga anak panah secara berbarengan dan
menembus kepala masing-masing. Tamatlah riwayat ksatria dari Turilaya.
Jayadrata Gugur
Arjuna segera kembali ke tengah pertempuran dan kaget melihat Bima kewalahan dan harus mundur menghadapi Jayadrata tiruan. Segera dia menghunus panah Neracabala. Setelah di lepaskan, anak panah ini langsung berubah menjadi ribuan anak panah yang membunuh para Jayadrata palsu. Kemudian Arjuna merapal ajian Guntur Wersa yang akan mendatangkan hujan dan banjir bandang, yang akan menyapu seluruh daratan Kurusetra didepan Arjuna. Begawan Sempani langsung mundur dan memerintahkan Jayadrata agar bersembunyi. Arjuna mengucap sumpah akan membunuh Jayadrata sebelum hari menjadi petang, apabila gagal, dia akan membakar diri di api pancaka. Sumpahnya didengar oleh semua yang ada di Kurusetra. Kresna bertanya,”Hari sudah sore, apa yang akan adik Arjuna lakukan untuk memenuhi sumpah?” Arjuna segera meminta bantuan Sri Kresna.
Kresna yang merupakan titisan
Dewa Wisnu segera mengatur strategi, diperintahkan para Pandawa membakar api
pancaka, dan meminta semua berganti pakaian serba putih layaknya orang yang
akan berserah diri. Arjuna juga diminta untuk berpakaian putih sebagai tanda
akan bakar diri. Setelah semua siap, Kresna melepaskan senjatanya Cakra ke
langit. Seketika langit menjadi gelap, para Kurawa bersorak dan menunggu sumpah
Arjuna untuk bakar diri. Semua berkumpul di sekitaran api pancaka, Arjuna juga
telah naik ke atas seolah hendak melompat. Jayadrata yang sedang bersembunyi
nampak penasaran, tanpa sadar, dia melangkah keluar dari persembunyiannya.
Melihat Jayadrata keluar, tanpa ampun lagi, Arjuna segera melepaskan panah
Pasopati. Jayadrata terkejut tapi sudah tak mampu menghindar, kepalanya putus.
Segera langit kembali menjadi terang seiring kembalinya Cakra kepada
pemiliknya. Bima yang sangat geram dengan Jayadrata segera menendang kepala
Jayadrata hingga jatuh tepat didepan ayahnya, Begawan Sempani. Sang ayah
memelas melihat kepala anaknya. Dengan kesaktiannya, dia turun k eke
pertempuran untuk menuntut balas. Raden Gandawarya, Raden Gandakusuma dan Raden
Prabukusuma tewas oleh Begawan Sempani. Arjuna murka melihat anaknya yang lain
menjadi korban. Atas perintah Kresna, Arjuna segera merapal ajian untuk meminta
hujan. Ini bukanlah satu kesulitan mengingat Arjuna merupakan titisan Dewa
Indra, dewa hujan. Begawan Sempani ternyata memiliki kelemahan, bahwa dia tidak
kuat dengan hujan dan cuaca dingin. Dengan siraman hujan terus menerus menerpa
tubuhnya, lambat laun sang Begawan melemah dan akhirnya meninggal.
Sekali lagi Kurawa menelan
kekalahan. Hal ini membuat Duryudana marah. Diperintahnya Dorna untuk mencari
dan menjemput Aswatama, dan untuk mengisi kekosongan sementara, dipilihlah
Burisrawa mengganti posisi Dorna sebagai senapati. Mengetahui Burisrawa
dijadikan senapati, Raden Setyaki memohon kepada Kresna untuk maju di bagian
depan agar dapat menuntaskan dendam kepada Burisrawa. Kresna menyetujui. Esoknya,
Burisrawa dan Setyaki bertemu ditengah lahan Kurusetra. Keduanya bertarung
dengan sengit, sampai pertengahan hari belum nampak siapa yang unggul diantara
keduanya. Hingga pada satu kesempatan, Burisrawa dapat memiting kepala Setyaki.
Setyaki tak mampu melepas pitingan Burisrawa. Sri Kresna tak tega melihat adik
iparnya dipiting Burisrawa. Dengan dalih menguji pemusatan pikiran Arjuna,
Kresna meminta Arjuna untuk melepas panah Pasopati ke sehelai rambut yang
dipegangnya. Arjuna tidak menyadari, bahwa jauh dibelakang rambut itu ada
lengan Burisrawa. Anak panah melesat, rambut putus demikian juga lengan
Burisrawa. Dengan kesakitan yang teramat sangat membuat pitingan Burisrawa
kendor, secepat kilat Setyaki meloloskan diri dan menghantamkan gada Wesi
Kuningnya ke kepala Burisrawa. Tak ayal, kepala Burisrawa pun pecah. Kematian
Burisrawa menimbulkan dendam yang teramat sangat. Dursasana dan Prabu Salya
hendak menuntut balas tapi ditahan oleh Duryudana. Hari telah sore, perang
telah usai.
Gatotkaca Gugur
Meski hari beranjak malam,
bukanlah Kurawa jika tidak berpikiran licik dan culas. Adipati Karna serta
seluruh prajurit Awangga, melepas predikat ksatria dengan menyerang kubu
Pandawa di malam hari. Tak ayal, mendapat serangan secara mendadak membuat
Drestajumna, Srikandi dan Setyaki kewalahan. Hal ini sampai ke pesanggrahan
Randuwatangan dan membuat Arjuna marah. Dia meminta izin Kresna untuk maju
menghadapi Adipati Basukarna. Kresna melarang karena takdir mengatakan Pandawa
akan kalah jika Arjuna tewas dengan senjata Kunta milik Karna. Maka dipanggilah
Gatotkaca. Setelah diberikan wejangan dan pengertian dari Sri Kresna, Gatotkaca
dengan bangga menerima perintah sebagai senapati utama melawan Karna. Inilah
waktuku memberikan pengandian terbaik sepanjang umurku untuk Pandawa, pikir
Gatotkaca. Setengah tidak tega, Bima melepas anaknya mengemban tugas prajurit,
demikian juga sang paman Arjuna. Gatotkaca diperintahkan untuk memancing
kemarahan Karna hingga teramat sangat, sampai akhirnya Karna mengeluarkan
senjata Kunta. Senjata itu hanya dapat dipakai sekali. Gatotkaca berangkat
menuju medan laga beserta seluruh prajurit Pringgodani. Patih Brajawikalpa,
Brajalamatan dan yang lain ikut serta. Pertempuran sengit terjadi. Gatotkaca
berkelebat dengan cepat kesana kemari hingga seperti berjumlah ribuan. Melihat
anak buahnya banyak yang tewas karena terjangan Gatotkaca, Karna segera
menghampiri. Karna menerapkan ajian Kalarupa, seketika ribuan raksasa keluar
dari tubuhnya dan menyerang Gatotkaca. Merasa keteteran, Gatotkaca segera
merapal ajian Narantaka, warisan Resi Seta. Kobaran api keluar dari telapa
tangan Gatotkaca, ribuan raksasa itupun hancur.
Terkagum atas kesaktian satria
Pringgondani, Karna segera menaiki kereta perangnya, Jatisura, yang dikusiri
oleh Patih Hadimanggala. Adipati Basukarna telah menyiapkan Kunta Druwasa.
Dilepaskannya panah Kunta ke angkasa. Tanpa Gatotkaca sadari, di panah Kunta
telah bersemayam sang paman Kalabendana yang telah terbunuh olehnya tanpa
sengaja. Sang paman tersenyum dan mengajak Gatotkaca untuk pulang menghadap
Hyang Wenang. Gatotkaca pun berkata,”Paman, putramu iklas melepas segalanya,
mari kita bersama menuju swargaloka. Tapi aku minta, dengan kematianku ini, aku
ingin mendapat korban dipihak musuh sebanyak-banyaknya. Sang paman Kalabendana
menyanggupi. Segera panah Kunta Druwasa menembus pusar Gatotkaca. Sang senapati
menghadapi takdir dengan senyuman. Dia tahu bahwa senjata tersebut akan mencari
sarungnya yang melekat dalam tubuhnya. Bersatunya senjata Kunta dengan sarung
pusakanya membuat ledakan hebat diangkasa, seiring dengan itu, raga Raden
Gatotkaca melesat tak terkira menimpa kereta Jatisura milik Karna. Sang adipati
sanggup menghindar, tapi tak urung, Patih Hadimanggala, sang putra Warsakusuma
dan ratusan prajurit lainnya tewas seketika kejatuhan raga Gatotkaca. Gatotkaca
gugur.
Gatotkaca Gugur
Dursasana Gugur
Bima
nampak gusar dan segera ingin mencari Adipati Karna yang menghilang,
tapi ditahan oleh Kresna. Malam itu juga diadakan upacara penghormatan,
semua Pandawa, tak ketinggalan Arimbi, ibu Gatotkaca dan Dewi Pergiwa,
sang istri, ikut hadir. Bima tak dapat lagi menahan kesedihannya, hilang
sudah semua putranya demi kejayaan Pandawa. Sebelum perang Bharatayudha
berlangsung, kedua anaknya Antareja dan Antasena telah mengabdikan diri
dengan melakukan bela pati. Takdir yang tertulis di kitab Jitapsara
menyatakan, bahwa Pandawa tidak akan menang apabila Antasena, Antareja
serta putra Arjuna, Bambang Wisanggeni, ikut serta dalam peperangan.
Dengan ini, Kresna meminta kesediaan ketiga ksatria tersebut untuk
menjadi tumbal kemenangan Pandawa. Ketiganya menyanggupi dan kemudian
moksa. Kini, setelah Gatotkaca meninggal, tak ada lagi yang bisa
dibanggakannya. Bima berjalan tak tentu arah. Matahari telah menampakkan
sinarnya, perang telah kembali berkecamuk di Kurusetra. Bima terus
melangkah, sampai akhirnya, ditengah perjalanan dia bertemu Dursasana.
Berada jauh dari padang Kurusetra, Bima dan Dursasana pun bertarung.
Bima berpikir, inilah saatnya menuntut balas akan sikap Dursasana kepada
kakak iparnya, Drupadi. Dulu, Dursasana telah melecehkan Drupadi
sehingga Drupadi bersumpah tidak akan menggelung rambutnya sebelum
keramas dengan darah Dursasana sebagai bayaran atas rasa malu.
Pertarungan sengit tak terelakkan. Dursasana kewalahan. Kresna yang
sedari tadi mencari keberadaan Bima akhirnya menemuinya dalam keadaan
bertarung dengan Dursasana. Dengan kesaktiannya, Kresna segera kembali
ke pesanggrahan dan membawa Drupadi melihat pertempuran. Ini cara Kresna
agar Dursasana lengah dan takut terhadap sumpah Drupadi saat itu.
Melihat kehadiran Drupadi, Dursasana pucat pasi. Dengan sekali gerakan,
Bima memuntir kepala Dursasana hingga terdengar gemeretak tulang patah.
Tak hanya kepala, badan Dursasana juga dipuntir sampai tulang
belulangnya patah. Tanpa belas kasihan lagi, Bima merobek badan
Dursasana dan menampung darahnya dalam satu cawan. Tubuh Dursasana yang
tak lagi berbentuk dilempar jauh-jauh hingga ke tengah medan Kurusetra.
Cawan berisi darah Dursasana diserahkan kepada Drupadi untuk membayar
sumpahnya. Dengan senang hati, Drupadi menerima pemberian Bima dan
segera melunasi sumpahnya.
Dorna Gugur
Malam
hari, Dorna kembali ke pesanggrahan Bulupitu bersama Aswatama dan
Sengkuni. Setelah merundingkan segala sesuatunya, Dorna berpesan kepada
Aswatama agar tidak maju perang terlebih dahulu. Aswatama mengangguk
mematuhi perintah ramandanya. Esok harinya, Sang Kumbayana atau Resi
Dorna mengamuk di padang Kurusetra. Berbekal senjata Jayakunang dan
ajian Laring Merak, senapati tua ini berkelebat kesana kemari menebar
kematian. Melihat sepak terjang Dorna, Drestajumna segera meminta
nasihat Kresna. Dan Kresna meminta Arjuna untuk melayani gurunya
tersebut. Tetapi kali ini Dorna berhadapan dengan rekan seperguruannya,
Prabu Drupada. Setelah bertarung cukup lama, Dorna mampu mengungguli
Drupada. Keris Jayakunang menancap di dada mertua Yudistira tersebut.
Sebelum menghemburkan nafas terakhir, Drupada berucap,”Aku mengaku kalah
Kumbayana tapi ini tidak akan mengubah persahabatan kita. Aku akan
menunggu waktu untuk kembali kea lam kelanggengan bersamamu. Waktu itu
tidak akan lama.” Tertegun Dorna mendengar ucapan temannya.
Setelah
menewaskan Drupada, Dorna telah ditunggu oleh Arjuna. Setelah
menghaturkan sembah dan Arjuna memohon maaf karena akan menghadapi sang
guru Dorna. Mereka pun bertarung. Kesaktian yang seimbang, senjata yang
sama-sama sakti membuat keduanya bertarung tanpa ada yang kalah atau
menang. Hal ini membuat gusar Sri Kresna. Dipanggilnya Bima dan
berpesan,”Majulah dan lawanlah Raja Malwapati, Prabu Permeya. Bunuhlah
dia. Setelah itu, gajah tunggangannya yang bernama Asuratama harus pula
kau bunuh. Dan sebarkan berita bahwa Aswatama telah mati. Ini yang dapat
mengalahkan Dorna. Para Pandawa dan prajurit juga diminta oleh Kresna
untuk menyebarkan berita bahwa Aswatama mati. Bima segera menjalankan
titah kakaknya. Dalam perang tak seimbang, Prabu Permeya tewas. Segera
Bima mengayunkan gada Rujak Polonya ke kepala gajah Asuratama dan
berteriak bahwa Aswatama mati. Teriakan itu menggema di seantero
Kurusetra. Dorna yang sedang bertarung segera menghentikan serangannya.
Rasa tak percaya menghinggapi perasaannya. Tampak olehnya, si kembar
Nakula Sadewa sedang bertarung. Dorna bertanya pada keduanya,”Benarkah
anakku Aswatama gugur?”. Nakula dan Sadewa menjawab benar. Dorna belum
percaya, bergegas dia mencari Yudistira yang selama ini tidak pernah
berbohong. Ketika bertemu, Dorna menanyakan hal yang sama pada
Yudistira. Teringat pesan dari Kresna tetapi dengan hati yang tak tega,
Yudistira menjawab,”Benar, Asuratama mati.” Tetapi Yudistira mengucapkan
nama itu dengan perlahan, dia hanya memberikan penekanan pada kata
Tama. Dorna salah mengira. Baginya, seorang Yudistira yang sepanjang
hidupnya selalu berkata jujur telah mengungkapkan bahwa Aswatama mati.
Resi Dorna segera terduduk dan termenung, lemah lunglai seluruh tubuh
seakan tak lagi bertulang. Nampak dalam bayangannya, Prabu Drupada dan
Palgunadi datang menjemput. Dorna benar-benar tak kuasa menahan
kesedihan. Hal ini nampak oleh Drestajumna yang telah dirasuki arwah
Palgunadi. Drestajumna melangkah mendekati Dorna yang bersandar di batu
sambil menangis. Tak ada satu pun Kurawa yang menghalangi karena sibuk
mencari keberadaan Aswatama yang sesungguhnya untuk dipertemukan dengan
Dorna. Tanpa mengindahkan jiwa ksatria, Drestajumna berteriak akan
menuntut balas kematian ayahnya, Prabu Drupada. Seketika itu pula,
pedang Drestajumna menebas leher sang Dorna sampai putus dan
menendang-nendang kepala itu sampai ke markas Kurawa. Setelah Dorna
menemui ajal, seketika itu pula arwah Palgunadi hilang dari tubuh
Drestajumna. Tinggal dia seorang diri menyesali perbuatannya yang jauh
dari sikap ksatria, membunuh orang tua yang tak bersenjata dan tak
berdaya. Kresna segera menghibur Drestajumna dengan mengatakan bahwa itu
sudah digariskan oleh Hyang Wenang.
Sengkuni yang melihat
kelakuan Drestajumna kepada Dorna segera berlari mencari Aswatama.
Ketika bertemu, diceritakanlah kejadian yang menimpa Dorna dengan
ditambahi bumbu-bumbu penyedap. Aswatama marah mendengar orangtuanya
diperlakukan tidak ksatria. Aswatama melompat dan turun ke medan laga
mencari Drestajumna. Digengamnya keris Cundamanik dan mulai mengambil
nyawa. Drestajumna yang sudah tersedot tenaganya merasa ngeri melihat
amukan Aswatama dan mundur. Kresna yang mengetahui hal ini segera
meminta Bima untuk menghadapi Aswatama. Segera keduanya bertarung, tapi
kekuatan dan kesaktian Aswatama jauh dibawah Bima. Aswatamapun melarikan
diri sambil bersumpah tidak akan mati sebelum menumpas seluruh putra
Pancala dan anak turunnya yang telah membunuh orang tuanya.
Malam
hari, Kurawa kembali berduka. Kematian Dursasana dan Resi Dorna
merupakan pukulan telak bagi Prabu Duryudana. Dia merasa, sekarang
saatnya dia untuk turun ke pertempuran. Tapi sang mertua, Prabu Salya
menolak dan mengatakan bahwa masih ada ksatria lain yang sanggup menjadi
senapati di Kurawa. Biarlah Adipati Karna yang menjadi senapati.
Duryudana sependapat dan mengangkat Basukarna sebagai senapati perang
dibantu Prabu Salya. Karna juga meminta kepada mertuanya, Prabu Salya
untuk menjadi kusirnya ketika terjadi perang tanding antara dirinya
dengan Arjuna. Karna yakin bahwa pihak Pandawa akan memilih Arjuna
menjadi senapati menggantikan Drestajumna. Dan apabila, terjadi perang
tanding, Kresna pasti akan menjadi kusir Arjuna. Prabu Salya menyanggupi
permintaan menantunya. Sekedar diketahui, Duryudana dan Adipati Karna
adalah menantu Prabu Salya. Duryudana memperistri Dewi Banowati
sedangkan Adipati Karna mempersunting Dewi Surtikanti.
Karna Gugur
Keesokan
hari, putra Yamawidura yang bernama Raden Sanjaya mencoba mendahului
Arjuna dengan menantang Karna. Tapi tantangannya tak didengar, yang
mendengar adalah putra kedua Adipati Karna yaitu Raden Wersasena.
Pertempuran tak terelakkan. Keduanya sama sakti, tapi Raden Sanjaya
lebih beruntung.Wersasena tewas ditangannya. Melihat hal ini, Karna
marah bukan kepalang. Anak lelakinya tinggal satu, tewas pula. Segera
dia meladeni tantangan Sanjaya. Adipati Karna bukanlah tandingan putra
Yamawidura tersebut. Tak lama, keris Kyai Jalak menewaskan Raden
Sanjaya. Setelah itu, Adipati Karna naik keatas kereta perangnya yang
dikusiri Prabu Salya. Nampak dikejauhan kereta perang Jaladara yang
dikusiri Sri Kresna mendekat sambil membawa panengah Pandawa, Raden
Arjuna. Ketika keduanya bertemu, sontak semua prajurit menghentikan
pertempuran. Suasana hening. Dua putra Kunti kini bertemu dan akan
saling bertarung hingga ajal menjemput salah satunya. Arjuna turun dari
keretanya dan menyembah kakaknya. Setelah menghaturkan sembah bekti,
Arjuna mencoba membujuk kakaknya untuk tidak meneruskan bertarung dan
bersama-sama membangun bersama Pandawa. Adipati Karna menolak dengan
halus. “Ini adalah pengabdian atas apa yang telah diberikan Astinapura
kepadaku,”ucap Karna. “Jika begitu, terimalah permohonan maafku. Bukan
aku bermaksud lancang melawan saudara sendiri,”ujar Arjuna. Kembalilah
mereka ke kereta masing-masing.
Perang tanding tak lagi
terelakkan. Dengan gagah, kedua putra Kunti itu saling bertarung. Hampir
seharian mereka bertarung, hari telah beranjak sore. Hingga kemudian
Kresna melihat kelengahan dalam diri Karna dan Prabu Salya. Kresna
memerintahkan Arjuna untuk melepaskan panah Pasopati ke leher Karna.
Arjuna menurut, sambil memejamkan mata karena tak tega, Arjuna
melepaskan panah yang memiliki ujung seperti bulan sabit itu. Karena
tajamnya Pasopati, Adipati Karna langsung tewas dan terduduk dikereta.
Senyum tersungging dibibirnya, seakan tidak menyesali keputusannya
membela Kurawa. Kidung layu turun disertai rintik hujan menyertai
kepergian Adipati Basukarna. Segenap keluarga Pandawa berkumpul, member
penghormatan terakhir kepada saudara sulung mereka. Mereka terlahir dari
ibu yang sama meski memilih jalan yang berbeda. Mengetahui menantunya
gugur, Prabu Salya turun dari kereta, lari kembali ke pesanggrahan
Bulupitu. Sore setelah Adipati Karna gugur, mendung gelap serta hujan
yang turun membasahi Kurusetra seakan menahbiskan suasana hati para
Kurawa. Kini jumlah mereka dapat dihitung dengan jari. Para Kurawa yang
berjumlah seratus, kini hanya tinggal sepuluh. Termasuk Duryudana dan
Raden Kartamarma. Sesungguhnya Bharatyudha telah berakhir, tapi
Duryudana enggan mengaku kalah.
Kini tak ada lagi yang bisa
diandalkan oleh Duryudana. Dalam siding di pesanggrahan Bulupitu, Patih
Sengkuni terang-terangan menyindir Prabu Salya yang tak mau turun
gelanggang lagi. Bahkan diperparah dengan ucapan Aswatama yang
memojokkan Prabu Salya atas meninggalnya Adipati Karna. Ucapan Aswatama
yang tidak ada sopan santunnya membuat Salya marah dan Duryudana
mengusir Aswatama keluar dari pesanggrahan. Akhirnya diputuskan, Prabu
Salya menjadi senapati tertinggi di Kurawa.
Gundah perasaan para
Pandawa mengetahui Prabu Salya diangkat menjadi senapati tertinggi.
Terutama sekali si kembar Nakula dan Sadewa. Ini berarti mereka haru
berhadapan dengan sang uwa. Prabu Salya merupakan kakak dari Dewi
Madrim, ibu Nakula dan Sadewa. Kresna paham benar dengan situasi ini,
dengan bijak Kresna meminta agar Nakula dan Sadewa pergi menemui Prabu
Salya dan memohon kemudahan bagi Pandawa. Dengan berat hati si kembar
pergi menemui Salya. Ketika bertemu, Prabu Salya telah memahami maksud
kedatangan keponakannya tersebut. Dengan penuh kasih, Salya berucap,”Aku
merestui segala tindakan Pandawa, aku juga menginginkan kemenangan di
pihak Pandawa. Aku membela Kurawa karena putri-putriku yang menjadi
istri Duryudana dan Adipati Karna. Ketahuilah, tidak akan ada yang
sanggup menandingi kekuatan ajian Candrabhirawa. Ilmu ini hanya sanggup
dikalahkan oleh seseorang yang memiliki jiwa yang suci. Katakan itu pada
Sri Kresna, beliau faham apa maksudnya.” Setelah berkata demikian,
Salya meminta kedua keponakannya untuk segera pulang karena hari akan
terang dan perang akan segera dimulai. Nakula dan Sadewa undur diri.
Prabu Salya Gugur
Nakula
dan Sadewa kembali ke pesanggrahan dan disambut oleh Sri Kresna.
Setelah mereka mengutarakan apa yang dikatakan oleh Prabu Salya, Kresna
segera menunjuk Yudistira untuk menjadi senapati utama dan dibantu oleh
Nakula dan Sadewa. Sementara Bima dan Arjuna akan berjaga dibelakang.
Yudistira bimbang menerima perintah, Kresna segera meyakinkan bahwa
inilah takdir sang Dewata yang tak dapat diubah. Majulah Yudistira ke
medan perang. Ditengah Kurusetra nampak Prabu Salya mengamuk
sejadi-jadinya, banyak prajurit Pandawa yang menjadi korban. Ketika dia
melihat kedatangan Yudistira dengan kuda putihnya bersama dengan Nakula
dan Sadewa, Salya tersenyum dan sadar bahwa ajalnya telah dekat. Segera
Salya merapal ajian Candrabhirawa. Seketika itu pula keluarlah mahkluk
bajang berwujud raksasa. Salya memerintahkan untuk segera menyerang
Yudistira. Raksasa ini menyerang, dan setiap terkena senjata dari
Nakula, Sadewa, Bima dan Arjuna, raksasa ini membelah diri dan berjumlah
semakin banyak. Pandawa kewalahan, Kresna segera berteriak agar Pandawa
diam dan menyingkir, tidak melakukan perlawanan. Perintah ini dituruti
dan anehnya, raksasa inipun diam, tidak menyerang Pandawa. Semakin lama,
jumlahnya semakin sedikit, menyatu kembali dalam ujud semula. Kejadian
menjadi semakin aneh ketika raksasa itu kemudian pergi menghampiri
Yudistira dan merasuk ke dalam sukmanya. Melihat hal ini, Prabu Salya
terdiam. Segera Yudistira mengambil pusaka Jamus Kalimasadha. Dia
kuatkan hatinya, mencoba menghilangkan keraguan. Ketika telah tetap
hatinya, segera ia lepaskan pusakanya menuju Prabu Salya. Pusaka itupun
menancap didadanya. Prabu Salya gugur. Tak lama berselang, datanglah
Dewi Setyawati melakukan bela pati dengan menusukkan keris kedadanya,
menyusul suami tercinta pulang ke swargaloka.
Sengkuni Gugur
Yudistira
segera memerintahkan para prajurit Pandawa untuk mundur, karena
baginya, sudah tidak ada lagi yang harus diteruskan. Kurawa telah habis,
menyisakan Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa orang prajurit.
Sebelum bisa mundur, Sengkuni telah mengamuk, mengobrak-abrik para
prajurit Pandawa yang tersisa. Amukan Sengkuni terlihat jelas oleh
Kresna dan Bima. Sengkuni sesungguhnya adalah manusia yang kebal
terhadap segala macam senjata, karena ketika terjadi perebutan cupu
Cundamanik dan minyak Tala antara dirinya dan Dorna membuat minyak Tala
itu jatuh dan berceceran. Sengkuni segera berguling-guling untuk
membasuh tubuhnya dengan minyak tersebut. Tapi ada satu bagian yang
terlewat, yaitu duburnya. Kresna mewanti-wanti Bima akan hal ini. Segera
Bima melompat, menghadang gerakan Sengkuni. Dengan sekali kelebat,
leher Sengkuni terpegang oleh Bima. Segera diangkatnya kepala Sengkuni
sampai salah satu kakinya naik. Tanpa pikir panjang, ditancapkannya kuku
pusaka Pancanaka ke dubur Sengkuni. Sang patih pun menjerit mengiringi
kematiannya. Tak cukup sampai disitu, Bima segera menguliti Sengkuni
untuk memenuhi sumpah Dewi Kunti ibunya. Ketika itu, Sengkuni melecehkan
Kunti sampai kembennya melorot dan menjadi tertawaan para Kurawa. Saat
itu, Kunti bersumpah tidak akan berkemben sebelum menggunakan kemben
yang terbuat dari kulit Sengkuni. Kulit Sengkuni ini diserahkan Bima
kepada ibunya untuk mewisuda sumpahnya.
Malam hari, Pandawa
berkumpul di pesanggrahan. Meski kemenangan telah diraih tapi ini tidak
membuat wajah mereka berseri kegirangan. Karena kemenangan ini mereka
raih diatas darah saudara-saudara mereka sendiri. Tinggal satu Kurawa
tersisa, Prabu Duryudana. Dan satu lagi yang sekarang entah berada
dimana, yaitu Aswatama. Kresna meminta bantuan kakaknya Prabu Baladewa
untuk mencari keberadaan Duryudana dan merayu agar menyudahi peperangan.
Singkat cerita, Duryudana memang berwatak keras dan tak mau dikalahkan.
Dia tetap tidak mau menyerahkan Astina pada Pandawa. Dia berfikiran,
semua saudaranya telah mati, jadi untuk apa hidup. Duryudana meminta
kepada Baladewa agar diadakan tanding melawan Pandawa yang memiliki
kekuatan dan tubuh seimbang dengannya, yaitu Bima. Dan saat perang
tanding dimulai, dia meminta Baladewa dan Kresna menjadi saksi.
Duryudana Gugur
Segera
semua dipersiapkan untuk memulai perang tanding. Duryudana telah siap
dengan busana prajuritnya, demikian pula Bima. Mereka berdua telah
bersiap dengan senjata gada di tangannya. Duryudana menyerang, perang
tanding berlangsung sengit. Pertarungan telah berlangsung lama, hari
telah menjelang gelap. Tidak nampak siapa yang akan menang saat itu.
Kresna yang mengawasi sedari tadi segera member isyarat kepada Bima.
Kresna menepuk-nepuk paha kirinya, sekilas Bima melihat isyarat itu dan
langsung mengerti. Semasa bayi, Duryudana pernah dimandikan dengan air
suci yang akan memberinya kekebalan, tetapi paha kiri Duryudana saat itu
tertutup daun sehingga paha itu tidak terkena air suci. Itulah letak
kelemahan Duryudana. Segera Bima menghantamkan gada Rujak Polonya dengan
sekuat tenaga ke titik lemah Duryudana. Dengan jeritan yang agak
tertahan, Duryudana roboh. Dalam keadaan tidak berdaya, Bima terus
menggempur paha kiri Duryudana sampai remuk. Melihat hal ini, Prabu
Baladewa marah dan menantang Bima. Kresna segera bangkit dan menghampiri
kakaknya. Kresna segera mengatakan bahwa semua ini adalah takdir yang
telah tersurat, tak ada satupun yang dapat mengubahnya. Mendengar
perkataan Kresna, amuk Baladewa menyurut. Duryudana telah sampai di
penghujung nafas. Duryudana gugur. Mengetahui kematian Duryudana,
Kartamarma sebagai satu-satunya Kurawa yang masih hidup segera melarikan
diri ke hutan.
Malam hari, Pandawa telah menyempurnakan kematian
Duryudana dengan membakar jenazahnya. Para prajurit duduk dengan riang
melihat pertempuran telah usai dan mereka menjadi pemenang. Setelah
perang usai, kembalilah para Pandawa beserta Sri Kresna ke Astinapura.
Kedatangan mereka disambut gembira oleh Dewi Kunti. Kemudian mereka
bersama menghadap Prabu Drestarastra dan Dewi Gendari, orang tua para
Kurawa. Pandawa memohon maaf karena para Kurawa tak tersisa dalam perang
saudara tersebut. Prabu Drestarastra yang mengetahui cerita kematian
Duryudana, anak yang sangat dikasihinya, segera bangkit dan mendekati
Bima. Tanpa disadari Bima, uwanya, Prabu Drestarastra ternyata telah
merapal ajian Kumbalageni, dimana apapun yang disentuhnya akan hangus
dan hancur. Kresna paham hal ini dan segera menarik Bima. Tangan
Drestarastra mengenai patung dan hancur seketika. Setelah amarah
Drestarastra dapat diredakan oleh Kresna, Drestarastra mau menerima
takdir bahwa anak-anaknya telah tewas. Tidak demikian dengan Gendari,
ibu para Kurawa ini menyumpahi Kresna sebagai dalang perang. Gendari
menyumpah bahwa nanti bangsa Yadawa atau keturunan Kresna semua akan
binasa karena perang saudara. Kresna terperanjat mendengar sumpah
Gendari. Keadaan jadi hening. Selang beberapa lama, para Pandawa pamit
dan beristirahat di pakuwon. Sementara, Dewi Utari, istri Abimanyu telah
melahirkan jabang bayi laki-laki yang diberi nama Parikesit. Kresna
merasakan ada hal yang janggal pada malam itu dan meminta seluruh
Pandawa untuk waspada.
Dikisahkan, Kartamarma yang melarikan diri
ke hutan ternyata bertemu dengan Aswatama. Setelah menceritakan semua
kejadian, mereka berdua merencanakan untuk membalas dendam dan kembali
merebut Astina dari Pandawa. Singkat cerita, Aswatama dan Kartamarma
berhasil memasuki wilayah Astina. Aswatama segera membaca mantra agar
seluruh penghuni istana tertidur. Dengan mudah Aswatama memasuki
lingkungan istana dan masuk ke pakuwon Pandawa. Di kamar pertama, dia
melihat calon raja baru Astina, Pancawala dan pembunuh ayahnya,
Drestajumna tertidur pulas. Tanpa ampun, digoroknya leher mereka berdua
tanpa sempat menjerit sekalipun. Masih terbakar api dendam, Aswatama
masuk ke kamar kedua, dilihatnya Dewi Srikandi tertidur. Dijambaknya
rambut Srikandi dan dibentur-benturkan kepalanya hingga tewas. Aswatama
kemudian melihat istri Arjuna yang lain, ada Wara Sembadra, Niken
Larasati dan Sulastri. Semua dibunuh oleh Aswatama karena dendamnya
terhadap Arjuna. Setelah itu, dia melihat Dewi Banowati. Istri Duryudana
itu sangat dibencinya karena berselingkuh dengan Arjuna. Tanpa ampun,
dibunuhnya Banowati dengan kejam. Wajahnya hancur.Tinggalah Parikesit,
sang jabang bayi yang tertidur. Aswatama berpikir, bahwa bayi ini yang
akan menjadi raja di Astina karena anak Yudistira telah dia bunuh,
anak-anak Bima telah gugur semua. Ketika Aswatama hendak membunuh
Parikesit, dengan pertolongan dewata, tiba-tiba keris Pulanggeni yang
disimpan disamping jabang bayi tertendang oleh Parikesit dan menembus
dada Aswatama. Aswatama tewas. Parikesit menangis keras, membangunkan
semua yang ada di pakuwon itu.
Semua yang berada dipakuwon bangun,
Pandawa dan Kresna berlari menuju kamar tempat Parikesit. Betapa
kagetnya mereka mendapati semua penghuni kamar tewas dalam kondisi yang
mengenaskan. Arjuna terduduk lunglai, Yudistira dan Drupadi tertegun
melihat jasad anaknya Pancawala yang tanpa kepala. Kresna menyesali
diri, kenapa dia tidak waspada. Bima segera keluar pakuwon, dan
dilihatnya Kartamarma melarikan diri. Segera dihantamnya Kartamarma
dengan gada Rujak Polonya. Kartamarma tewas dengan kepala pecah. Pandawa
berduka.
Keesokan hari, setelah melakukan penghormatan terakhir
kepada para keluarga yang tewas. Kresna meminta agar Yudistira segera
menyiapkan pemerintahan baru di Astina. Diangkatlah Parikesit sebagai
raja baru, karena masih kecil maka Yudistira menjadi walinya dengan
gelar Prabu Kalimataya. Sadewa ditunjuk sebagai patihnya. Sedangkan
Nakula menjabat raja di Mandaraka menggantikan uwanya, Prabu Salya. Bima
tetap memerintah di Jodipati, wilayah Indraprasta dan Arjuna menjadi
raja di Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.
0 Response to "Budaya Nusantara Wayang Bharatayudha | Daftar Budaya Nusantara"