Sejarah Perang Bali (1846-1849) | Sejarah Nasional Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan
seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu
dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan
Klungkung, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja
Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan di Bali berada di bawah pengaruh
Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk
menguasai Bali.
Masalah utama adalah
adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini
dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang
terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan
pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem
besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun
1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya
terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan
dengan semestinya.
Pada tahun 1844 terjadi
perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat)
dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan
Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843
itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda
untuk menyerang Buleleng.
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Portugis
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Inggris
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Belanda
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Jepang
- Sejarah Perang Maluku (1817)
- Sejarah Perang Palembang (1821)
- Sejarah Perang Padri (1821 - 1837)
- Sejarah Perang Diponegoro (1825-1830)
- Sejarah Perang Bali (1846-1849)
Pada bulan Juni 1846, pasukan dan kapal dikerahkan bersama dan dipimpin oleh schout-bij-nacht Engelbertus Batavus van den Bosch; pasukan itu terdiri atas 1.700 prajurit, dan hanya 400 orang saja yang berasal dari Eropa. Pasukan itu dipimpin oleh Letkol. Bakker. Serangan ini dapat digagalkan oleh laskar Buleleng yang bertahan di benteng Jagaraga.
Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk
“Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk
menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja
Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan
sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para
prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang
menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi
para prajurit yang bertugas digaris depan.
Ekspedisi kedua dipimpin oleh Jend. Carel van der Wijck; pada tanggal 7
Juni 1848 pasukan tersebut mendarat di pantai utara Buleleng. Pasukan
Belanda beranggotakan 2.400 prajurit, sepertiga terdiri atas orang
Eropa, sisanya adalah orang Jawa dan Madura, ditambah dengan 1 kompi yang beranggotakan orang kulit hitam Afrika, kemungkinan berasal dari koloni Belanda di Ghana (saat itu Pantai Emas).
Orang Bali berjumlah 16.000 jiwa, temasuk 1.500 orang yang bersenjatakan senapan api di bawah pimpinan I Gusti Ketut Jelantik. Setelah Belanda mendarat, orang Bali menarik diri ke posisi mereka di Jagaraga, hanya 4 kilometer
jauhnya. Belanda menyerang musuh di Jagaraga meskipun udara panas
menyengat. Orang Bali menyerang balik dan menghalau pasukan Belanda,
yang di pihaknya jatuh korban 200 orang tewas, sehingga harus naik
kapal kembali. Setelah kekalahan ini, Belanda kembali menyerang lewat
ekspedisi ketiga di tahun 1849.
I Gusti Ketut Jelantik
Pimpinan ekspedisi ketiga dipegang oleh Jend. Andreas Victor Michiels, yang dipanggil dari Pesisir Barat Sumatera, dan pada bulan November 1848
mendapatkan kesempatan inspeksi ke sana. Dengan urusan tersebut, yang
sejauh itu bisa diketahui, ia kemudian ditempatkan untuk memimpin
angkatan perang sebanyak 5.000 prajurit dan 3.000 kuli di bulan Maret 1849, dan semuanya diberangkatkan ke Bali. Pada tanggal 28 Maret,
Michiels memimpin pasukannya ke Buleleng, Benteng Jagaraga dihujani
meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur,
mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih
Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga
maka Belanda dapat menguasai Bali utara dan 2 hari kemudian ke
Singaraja tanpa banyak perlawanan, dan esoknya sebuah perundingan
diusahakan terhadap kerajaan tersebut; namun gagal. Dari sini, Michiels
merencanakan serangan ke Jagaraga; di saat yang sama sebagian pasukan,
di bawah pimpinan Jan van Swieten, sibuk menahan pasukan di depan, dan May. Cornelis Albert de Brauw (bersama tokoh lain seperti Willem Lodewijk Buchel, Johannes Root dan Karel van der Heijden)
melakukan beberapa kerja tak resmi yang dengan cepat dapat menduduki.
Hingga pagi hari, pengurangan di bagian barat dirasakan dan serangan di
depan oleh Van Swieten diulang kembali, yang setelah itu Jagaraga
jatuh dan pasukan Bali melarikan diri.
Pada tanggal 8 Mei, Michiels bertolak ke Teluk Labuhan Amuk di Padang Cove, Karangasem, yang sebelumnya Toontje Poland sudah tiba. Pada tanggal 24 Mei, Michiels meneruskan perjalanan ke Kusamba dan menguasai kampung itu tanpa masalah. Di pagi berikutnya perjalanan itu berlanjut, namun di malam hari pasukan Bali melancarkan serangan atas kampung itu, dan dalam serbuan itu Michiels terluka parah di pahanya dan tewas saat itu juga setelah diamputasi. Di pagi berikutnya Van Swieten, yang sudah diangkat sebagai panglima, juga kembali ke Padang Cove; setelah perundingan di Kusamba gagal kembali (10 Juni) dan meminta penyerahan mereka. Pada tanggal 12 Juni persetujuan tercapai, di mana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia-Belanda dan Kerajaan Bangli digabungkan ke Buleleng. Penyelesaian itu diratifikasi oleh Jan Jacob Rochussen dan menjadi dasar bagi penguasaan Belanda atas Bali.
Pada tanggal 8 Mei, Michiels bertolak ke Teluk Labuhan Amuk di Padang Cove, Karangasem, yang sebelumnya Toontje Poland sudah tiba. Pada tanggal 24 Mei, Michiels meneruskan perjalanan ke Kusamba dan menguasai kampung itu tanpa masalah. Di pagi berikutnya perjalanan itu berlanjut, namun di malam hari pasukan Bali melancarkan serangan atas kampung itu, dan dalam serbuan itu Michiels terluka parah di pahanya dan tewas saat itu juga setelah diamputasi. Di pagi berikutnya Van Swieten, yang sudah diangkat sebagai panglima, juga kembali ke Padang Cove; setelah perundingan di Kusamba gagal kembali (10 Juni) dan meminta penyerahan mereka. Pada tanggal 12 Juni persetujuan tercapai, di mana Jembrana dinyatakan sebagai bagian dari Hindia-Belanda dan Kerajaan Bangli digabungkan ke Buleleng. Penyelesaian itu diratifikasi oleh Jan Jacob Rochussen dan menjadi dasar bagi penguasaan Belanda atas Bali.
Jan Jacob Rochussen
0 Response to "Sejarah Perang Bali (1846-1849) | Sejarah Nasional Indonesia"