Sejarah Perang Banjar (1859 - 1905) | Sejarah Nasional Indonesia
Sultan Tahmidillah I (1778
– 1808) mempunyai anak tiga orang, yang berhak menggantikannya sebagai
sultan, yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir.
Dalam perebutan kekuasaan, Pangeran Nata salah seorang saudara Sultan
Tahmidillah I, berhasil membunuh Pangeran Rahmat dan Abdullah.
Keberhasilan ini disebabkan bantuan Belanda yang diberikan kepada
Pangeran Nata. Oleh karena itu Pangeran Nata diangkat oleh Belanda
menjadi sultan dengan gelar Sultan Tahmidillah II.
Tampilnya Sultan Tahmidillah II menjadi sultan Banjar mendapat
tantangan dan perlawanan dari Pangeran Amir, salah seorang putera
Sultan Tahmidillah I yang selamat dari pembunuhan Sultan Tahmidillah
II. Dalam pertarungan antara Sultan Tahmidillah II yang sepenuhnya
dibantu oleh Belanda dengan Pangeran Amir, maka akhirnya Pangeran Amir
dapat ditangkap oleh Belanda dan di buang ke Ceylon.
Kemenangan Sultan Tahmidillah II atas Pangeran Amir harus dibayar
kepada Belanda dengan menyerahkan daerah-daerah Pegatan, Pasir, Kutai,
Bulungan dan Kotawaringin.
Pangeran Amir mempunyai
seorang putera bernama Pangeran Antasari, yang lahir pada tahun 1809.
Sejak kecil Pangeran Antasari tidak senang hidup di istana yang penuh
intrik dan dominasi kekuasaan Belanda. Ia hidup di tengah-tengah rakyat
dan banyak belajar agama kepada para ulama, dan hidup dengan
berdagang.dan bertani.
Pengetahuannya yang dalam tentang
Islam, ketaatannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam, ikhlas, jujur dan
pemurah adalah merupakan akhlaq yang dimiliki Pangeran Antasari.
Pandangan yang jauh dan ketabahannya dalam menghadapi setiap tantangan,
menyebabkan ia dikenal dan disukai oleh rakyat. Dan ia menjadi
pemimpin yang ideal bagi rakyat Kalimantan Selatan, khususnya
Banjarmasin.
Wafatnya Sultan Tahmidillah II digantikan oleh
Sultan Sulaiman (1824-1825) yang memerintah hanya dua tahun; kemudian
digantikan oleh Sultan Adam (1825-1857). Pada masa ini kesultanan
Banjar hanya tinggal Banjarmasin, Martapura dan Hulusungai. Selebihnya
telah dikuasai oleh Belanda. Setelah Sultan Adam wafat, Belanda
mengangkat Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan Banjar, sedangkan rakyat
menghendaki Pangeran Hidayatullah karena ia adalah putra langsung dari
Sultan Adam. Dalam menghadapi keruwetan ini Belanda tetap
mempertahankan pangeran Tamjidillah menjadi sultan dan mengangkat
Pangeran Hidayatullah menjadi Mangkubumi.
Perlakuan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh Belanda terhadap kesultanan Banjar
dan penindasan terhadap rakyat membangkitkan kemarahan rakyat untuk
menentang Belanda. Dalam kondisi seperti ini adalah wajar jika Pangeran
Antasari sebagai pemimpin rakyat tampil ke depan untuk memimpin
perlawanan ini.
Dalam usaha menghadapi kekuasaan Belanda yang
besar, Pangeran Antasari berusaha untuk menghimpun semua potensi
rakyat, termasuk pangeran Hidayatullah yang menjabat sebagai Mangkubumi.
Pada pertengahan April, dua minggu sebelum pecah perang Banjar tanggal
28 April 1859, Pangeran Antasari mengajak Pangeran Hidayatullah
untuk bersama-sama melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Antasari
Dua minggu
kemudian, tepatnya tanggal 28 April 1859, Perang Banjar yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari meletus, dengan jalan merebut benteng Pengaron
sekaligus lokasi tambang Nassau Oranje milik Belanda, benteng diserbu
bersama Panglima Perangnya Demang Lehman. Pertempuran di benteng
Pengaron ini disambut dengan pertempuran-pertempuran di berbagai medan
yang tersebar di Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Haji Buyasin,
Tumenggung Antaluddin, Pangeran Amrullah dan lain-lain.
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Portugis
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Inggris
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Belanda
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Jepang
- Sejarah Perang Maluku (1817)
- Sejarah Perang Palembang (1821)
- Sejarah Perang Padri (1821 - 1837)
- Sejarah Perang Diponegoro (1825-1830)
- Sejarah Perang Bali (1846-1849)
- Sejarah Perang Banjar (1859 - 1905)
Sisa Benteng Pengaron
Pertempuran mempertahankan
benteng Tabanio bulan Agustus 1859, pertempuran mempertahankan
benteng Gunung Lawak pada tanggal 29 september 1859; mempertahankan
kubu pertahanan Munggu Tayur pada bulan Desember 1859, pertempuran di
Amawang pada tanggal 31 Maret 1860. Bahkan Tumenggung Surapati
berhasil membakar dan menenggelamkan kapal Onrust milik Belanda di
Sungai Barito.
Lukisan Benteng Tabanio
Sementara itu Pangeran Hidayatullah makin jelas menjadi
penentang Belanda dan memihak kepada perjuangan rakyat yang dipimpin
oleh Pangeran Antasari. Penguasa Belanda menuntut supaya Pangeran
Hidayatullah menyerah, tetapi ia menolak. Akhirnya penguasa kolonial
Belanda secara resmi menghapuskan kerajaan/kesultanan Banjar pada
tanggal 11 Juni 1860. Sejak itu kesultanan Banjar langsung diperintah
oleh seorang Residen Hindia Belanda.
Perlawanan semakin meluas, kepala-kepala daerah dan para ulama ikut
memberontak, memperkuat barisan pejuang Pangeran Antasari bersama-sama
pangeran Hidayatullah, langsung memimpin pertempuran di berbagai
medan melawan pasukan kolonial Belanda. Tetapi karena persenjataan
pasukan Belanda lebih lengkap dan modern, pasukan Pangeran Antasari
dan Pangeran Hidayatullah terus terdesak serta semakin lemah
posisinya. Setelah memimpin pertempuran selama hampir tiga tahun,
karena kondisi kesehatan, akhirnya Pangeran Hidayatullah menyerah
pada tahun 1861 dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Pangeran Hidayatullah
Setelah Pangeran Hidayat
menyerah, maka perjuangan umat Islam Banjar dipimpin sepenuhnya oleh
Pangeran Antasari, baik sebagai pemimpin rakyat yang penuh dedikasi
maupun sebagai pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di
Kalimantan Selatan, maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan
13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan: “Hidup untuk Allah dan
Mati untuk Allah,” seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama
dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran
Antasari menjadi ‘Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin’. Tidak ada
alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk menolak, ia harus menerima
kedudukan yang dipercayakan kepadanya dan bertekad melaksanakan
tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.
Dengan pengangkatan ini menyebabkan ia sekaligus secara resmi memangku
jabatan sebagai Kepala Pemerintahan, Panglima Perang dan Pemimpin
Tertinggi Agama Islam.
Pertempuran yang berkecamuk makin
sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda,
berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh
bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan
pusat benteng pertahanannya di hulu Sungai Teweh. Pada awal Oktober
1862, bertempat di markas besar pertahanan Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari) di hulu Sungai Teweh
diselenggarakan rapat para panglima, yang dihadiri oleh Khalifah
sendiri, Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said (keduanya putera
khalifah sendiri), Tumenggung Surapati dan Kiai Demang Lehman.
Pertemuan diakhiri setelah mendengar suara azan Maghrib yang terdengar
dari kejauhan. Dan beberapa hari kemudian, pada tanggal 11 Oktober
1862, Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (Pangeran Antasari)
wafat; dan dimakamkan di Bayan Begok, Hulu Teweh.
Walaupun
Khalifah telah wafat, namun perlawanan berjalan terus, dipimpin oleh
putera-puteranya seperti Gusti Muhammad Seman, Gusti Muhammad Said dan
para panglima yang gagah perkasa. Pada tahun 1864, pasukan Belanda
berhasil menangkap banyak pemimpin perjuangan Banjar yang bermarkas di
gua-gua.
Mereka itu ialah Kiai Demang Lehman dan Tumenggung
Aria Pati. Kiai Demang Lehman kemudian dihukum gantung. Sedangkan yang
gugur banyak pula dari para panglima, seperti antara lain Haji Buyasin
pada tahun 1866 di Tanah Dusun, kemudian menyusul pula gugur penghulu
Rasyid, Panglima Bukhari, Tumenggung Macan Negara, Tumenggung Naro.
Dalam pertempuran di dekat Kalimantan Timur, menantu Khalifah,
Pangeran Perbatasari tertangkap oleh Belanda dan pada tahun 1866
diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara. Kemudian Panglima Batur dari
Bakumpai tertangkap oleh Belanda dan dihukum gantung pada tahun 1905 di
Banjarmasin.Terakhir Gusti Muhamad Seman wafat dalam pertempuran di
Baras Kuning, Barito pada bulan Januari 1905.
Perang
Banjar berlangsung dari tahun 1859 dan berakhir tahun 1905, terlihat
dengan jelas bahwa landasan ideologi yang diperjuangkan adalah Islam,
dengan semboyan “Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah”, dengan jalan
perang Sabil dibawah pimpinan seorang Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin.
Lukisan Kapal Onrust
0 Response to "Sejarah Perang Banjar (1859 - 1905) | Sejarah Nasional Indonesia"