Sejarah Perang Palembang (1821) | Sejarah Nasional Indonesia
Konvensi London 13 Agustus 1814
membuat Britania menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya di
seberang lautan sejak Januari 1803. Kebijakan ini tidak menyenangkan
Raffles karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda. Serah terima
terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall.
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe
sebagai komisaris di Palembang. Tindakan pertama yang dilakukannya
adalah mendamaikan kedua sultan, Sultan Mahmud Badaruddin II dan Husin
Diauddin. Tindakannya berhasil, Sultan Mahmud Badaruddin II berhasil
naik takhta kembali pada 7 Juni 1818. Sementara itu, Husin Diauddin yang pernah bersekutu dengan Britania berhasil dibujuk oleh Muntinghe ke Batavia dan akhirnya dibuang ke Cianjur.
Pada dasarnya pemerintah kolonial Belanda tidak percaya kepada raja-raja Melayu. Mutinghe mengujinya dengan melakukan penjajakan ke pedalaman wilayah Kesultanan Palembang
dengan alasan inspeksi dan inventarisasi daerah. Ternyata di daerah
Muara Rawas ia dan pasukannya diserang pengikut Sultan Mahmud Badaruddin
II yang masih setia. Sekembalinya ke Palembang, ia menuntut agar Putra
Mahkota diserahkan kepadanya. Ini dimaksudkan sebagai jaminan
kesetiaan sultan kepada Belanda. Bertepatan dengan habisnya waktu
ultimatum Mutinghe untuk penyerahan Putra Mahkota, Sultan Mahmud
Badaruddin mulai menyerang Belanda
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Portugis
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Inggris
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Belanda
- Sejarah Kolonialisme atau Penjajahan Jepang
- Sejarah Perang Maluku (1817)
- Sejarah Perang Palembang (1821)
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Muntinghe) pecah pada tanggal 12 Juni 1819.
Perang ini merupakan perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana
korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut hingga
keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap sulit ditembus, sampai
akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia tanpa membawa kemenangan.
Belanda tidak menerima kenyataan itu. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen merundingkannya dengan Laksamana Constantijn Johan Wolterbeek dan Mayjen Hendrik Merkus de Kock
dan diputuskan mengirimkan ekspedisi ke Palembang dengan kekuatan
dilipatgandakan. Tujuannya melengserkan dan menghukum Sultan Mahmud
Badaruddin II, kemudian mengangkat keponakannya (Pangeran Jayaningrat) sebagai penggantinya.
Sultan Mahmud Badaruddin II telah memperhitungkan akan ada serangan
balik. Karena itu, ia menyiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di
beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibuat
benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak,
benteng-benteng ini sangat berperan dalam pertahanan Palembang.
Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819
oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini
disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran
baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan
akhirnya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819.
Sultan Mahmud Badaruddin II masih memperhitungkan dan mempersiapkan
diri akan adanya serangan balasan. Persiapan pertama adalah
restrukturisasi dalam pemerintahan. Putra Mahkota, Pangeran Ratu, pada
Desember 1819 diangkat sebagai sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Sultan Mahmud Badaruddin II lengser dan bergelar susuhunan. Penanggung jawab benteng-benteng dirotasi, tetapi masih dalam lingkungan keluarga sultan.
Setelah melalui penggarapan bangsawan (Susuhunan Husin Diauddin dan
Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom) dan orang Arab Palembang melalui
pekerjaan spionase, dan tempat tempat pertahanan disepanjang
sungai musi sudah diketahui oleh Belanda serta persiapan angkatan perang
yang kuat, Belanda datang ke Palembang dengan kekuatan yang lebih
besar. Tanggal 16 Mei 1821 armada Belanda sudah memasuki perairan Musi. Kontak senjata pertama terjadi pada 11 Juni 1821 hingga menghebatnya pertempuran pada 20 Juni
1821. Pada pertempuran 20 Juni ini, sekali lagi, Belanda mengalami
kekalahan. De Kock tidak memutuskan untuk kembali ke Batavia, melainkan
mengatur strategi penyerangan.
Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang bertikai untuk
beribadah. De Kock memanfaatkan kesempatan ini. Ia memerintahkan
pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan harapan Sultan
Mahmud Badaruddin II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu
dini hari Minggu 24 Juni, ketika rakyat Palembang sedang
makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. Serangan
dadakan ini tentu saja melumpuhkan Palembang karena mengira di hari
Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang
hebat, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang.
Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam tanggal 3 Syawal , Sultan Mahmud Badaruddin II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad pada tanggal 4 syawal dengan tujuan Batavia. Dari Batavia Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
0 Response to "Sejarah Perang Palembang (1821) | Sejarah Nasional Indonesia"