Tempat Bersejarah di Indonesia Candi Jago
Candi Jago dibangun pada masa Kerajaan Singasari pada
abad 13. Candi ini didirikan atas perintah Raja Kertanagara untuk
menghormati Raja Singasari ke IV, Sri Jaya Wisnuwardhana(1248-1268).
Lokasi candi berada di Dusun Jago, Desa
Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah
timur dari Kota Malang. Karena letaknya di Desa Tumpang, candi ini
sering juga disebut Candi Tumpang. Penduduk setempat menyebutnya
Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Peninggalan Sejarah
Masih menurut kitab Negarakertagama dan
Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai
dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4,
yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan
Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago
selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi
Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan
Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang
menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya.
Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan
Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya
kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang
didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah
mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman
dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
Arsitektur
Candi Jago disusun seperti teras punden berundak. Keseluruhannya
memiliki panjang 23,71 m, lebar 14 m, dan tinggi 9,97 m. Bangunan Candi
Jago nampak sudah tidak utuh lagi, yang tertinggal pada Candi Jago
hanyalah bagian kaki dan sebagian kecil badan candi. Badan candi
disangga oleh tiga buah teras. Bagian depan teras menjorok dan badan
candi terletak di bagian teras ke tiga. Atap dan sebagian badan candi
telah terbuka. Secara pasti bentuk atap belum diketahui, namun ada
dugaan bahwa bentuk atap Candi Jago menyerupai Meru atau Pagoda.
Pada
dinding luar kaki candi dipahatkan relief-relief cerita Kresnayana,
Parthayana, Arjunawiwaha, Kunjarakharna, Anglingdharma, serta cerita
fabel. Untuk mengikuti urutan cerita relief Candi Jago kita berjalan
mengelilingi candi searah putaran jarum jam (pradaksiana).
Pada
sudut kiri candi (barat laut) terlukis awal cerita binatang seperti
halnya cerita Tantri. Cerita ini terdiri dari beberapa panel. Sedangkan
pada dinding depan candi terdapat fabel, yaitu kura-kura. Ada dua
kura-kura yang diterbangkan oleh seekor angsa dengan cara kura-kura tadi
menggigit setangkai kayu. Di tengah perjalanan kura-kura ditertawakan
oleh segerombolan serigala. Mereka mendengar dan kura-kura membalas
dengan kata-kata (berucap), sehingga terbukalah mulutnya. Ia terjatuh
karena terlepas dari gigitan kayunya. Kura-kura menjadi makanan
serigala. Maknanya kurang lebih memberikan nasihat, janganlah mundur
dalam usaha atau pekerjaan hanya karena hinaan orang.
Pada sudut
timur laut terdapat rangkaian cerita Buddha yang meriwayatkan Yaksa
Kunjarakarna. Ia pergi kepada dewa tertinggi, yaitu Sang Wairocana untuk
mempelajari ajaran Buddha.
Salah satu patung yang awalnya terdapat pada Candi Jago, yang merupakan perlambangan Dewi Bhrkuti
Beberapa hiasan dan relief pada kaki candi berupa cerita Kunjarakarna. Cerita ini bersifat dedaktif dalam kepercayaan Buddha, antara lain dikisahkan tentang raksasa Kunjarakarna ingin menjelma menjadi manusia. Ia menghadap Wairocana dan menyampaikan maksudnya. Setelah diberi nasihat dan patuh pada ajaran Buddha, akhirnya keinginan raksasa terkabul.
Pada
teras ketiga terdapat cerita Arjunawiwaha yang meriwayatkan perkawinan
Arjuna dengan Dewi Suprabha sebagai hadiah dari Bhatara Guru setelah
Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca.
Hiasan pada badan Candi
Jago tidak sebanyak pada kakinya. Yang terlihat pada badan adalah relief
adegan Kalayawana, yang ada hubungannya dengan cerita Kresnayana.
Relief ini berkisah tentang peperangan antara raja Kalayawana dengan
Kresna. Sedangkan pada bagian atap candi yang dikirakan dulu dibuat dari
atap kayu/ijuk, sekarang sudah tidak ada bekasnya.
Candi Jago ditemukan Belanda tahun 1834. Saat
itu kondisi candi berada dalam keadaan rusak karena akar-akar pohon
beringin besar yang tumbuh di dekat candi. Keberadaan pohon di sekitar
candi mungkin memang sengaja ditanam sebagai penanda sekaligus pelindung
keberadaan candi dari marabahaya dan bencana. Tahun 1890, candi
dipugar. Selanjutnya baru pada tahun 1908, candi memiliki bentuk seperti
sekarang ini. Bagian atas candi masih belum mengalami bentuk sempurna
karena bagian-bagian yang belum ditemukan, sehingga sulit untuk
direkonstruksi.
0 Response to "Tempat Bersejarah di Indonesia Candi Jago"